War under Ideology

15 Jan 2010
War under Ideology

War under Ideology Aliyullah HadiSebuah tema besar yang tak pernah lekang dan terkikis oleh waktu, merambah dari masa ke masa, menghiasi pasang surut peradaban, memeras berjuta otak pemikir, untuk sekedar mencarikan kata yang tepat untuk mendefinisikan makna persaingan manusia (Human Struggle) dalam usaha untuk survive dan bereksistensi penuh di bumi sebagai manusia yang bebas, utuh, merdeka, dan berkuasa. Meskipun terkadang ambisi tersebut harus dicapai dengan mengorbankan hak-hak sesama dan menggunakan berbagai cara. Itulah fitroh manusia sebagai raja diraja (Kholifah fil-Ardh) dan sebagai manusia sosial (Zone Politikon) di jagad raya yang penuh dengan pertarungan dan persaingan.

Sepanjang sejarah manusia, persaingan dan perebutan otoritas sudah dimulai. Sejak Qobil dan Habil (Putra Adam) yang berseteru untuk merebutkan harga diri, arti hak dan ambisi kemenangan. Darah manusiapun harus tumpah membasahi tanah untuk pertama kalinya hanya gara gara sebuah ambisi sesaat. Sejak saat itulah anyir darah tercium seakan menjadi "parfum wajib" persaingan manusia.

Keserakahan, ketamakan, kerakusan dan ambisi sesaat memang tidak bisa dilepaskan dari kepala mahluk satu ini, Manusia. Wajar saja kalau Albert Camus menyebutnya dengan istilah "Manusia Pemberontak". Ia seolah sang pangeran berkuda yang tertawa dan dengan bangganya menebas leher sesamanya supaya ia bergelar raja, penguasa, ratu, boss atau apapun yang serba waah, meskipun ia harus bertahta diatas rintihan berjuta umat manusia yang lapar dan teraniaya. Ia ingkari nilai-nilai kemanusiaan dan menggantinya dengan virus-virus hati yang akut tak terobati. Sosok Firaun, Namrut, Musolini, Hitler dan penguasa lalim lainnya adalah segelintir dari manusia-manusia yang lupa akan adanya dirinya, dari mana, untuk apa, dan mau kemana akhirnya ia ter-ada, ada dan mengada. Inilah sejengkal babak kehidupan manusia rimba yang mendewakan haknya, akan tetapi mengkebiri hak saudaranya. Sebuah kemunafikan sejarah yang menyejarah dan terus terulang walaupun dengan rumus dan bentuk yang berbeda.

Dari berbagai babakan sejarah dan petakan penjuru bumi, mulai zaman purba-agraris hingga zaman modern-informasi, pekikan pencarian manusia untuk mengenal dirinya, Tuhannya, alam dan sistem kehidupan yang menopang kesejahteraan hidupnya terus bergema. Dari proses itulah muncal Norma, Ilmu, Agama, adat istiadat (budaya) yang akhirnya mengkristal menjadi peradaban (civilization, hadloroh). Puncak peradaban manusiapun mengalami perputaran. Dimulai dari Mesir Kuno, Yunani, Islam (Bagdad), dan Barat (Kristen). Dan bisa jadi peradaban itu suatu saat akan berpindah tangan.
Betapapun besarnya peradaban-peradaban yang telah ada, namun kebesarannya tak pernah melebihi kebesaran manusia. Karena manusialah yang mencipta peradaban. Tanpa manusia dan kresinya tidak akan ada peradaban walau namanya sekalipun. Sehingga tidak adil kiranya kalau tidak meletakkan manusia sebagai objek analisa pada tulisan ini.
August Comte membagi fase perkembangan pemikiran manusia menjadi tiga yaitu: Teologis, Metafisik dan Positif. Pemikiran manusua berkembang bedasarkan kondisi dan tantangan ruang dan waktu yang melingkupinya. Pada fase teologis dan metafisik, manusia berada dalam dunia emosional-subyektif yang penugh dengan mitos yang absurd, sedangkan pada fase positif manusia mulai berfikir rasional obyektif.

Mirip dengan yang dijelaskan oleh august comte, Kuntowijoyo membagi fase pemikiran manusia menjadi tiga yakni: Mitos, Ideologi dan llmu yang menjadi puncak pemikiran manusia. Namun, layak bagi kita untuk mempertanyakan kalim klasifikasi fase perkembangan pemikiran manusia tersebut. Hal ini dikarenakan ketika klasifikasi tersebut dikaitkan dengan konteks persaingan manusia, maka tidak ada yang namanya positif ataupun Ilmu.. Karena sifat keduanya yang objektif dan netral. Tidak ada ilmu ataupun positif dalam politik. Persaingan manusia selalu diwarnai dengan subyektifitas yang ada pada corak pemikiran individu atau kelompok (Ideologi).

Ideologi berarti "pemihakan", karena ideologi merupakan pandangan hidup seseorang atau kelompok dalam mencapai tujuannya Dari subyektifitas itulah lahir persaingan. Inilah dinamika kehidupan. Yang terpenting adalah bagaimana mencari aturan main yang cocok serta sinergis dengan semangat kemanusiaan. Ideologi sangat diperlukan, karena Ideologi merupakan motivasi internal penggugah semangat hidup. Dan sejarah selalu mengikrarkan bahwa ideologi tidak akan pernah mati, sebagaimana yang diimpikan oleh Comte ataupun Kuntowijoyo.

IDEOLOGI DOMINAN DUNIA
Liberalisme yang menjadi embrio ideologi kapitalisme, menjadi polemik yang melahirkan anti tesis ideologi tandingan Sosialisme ilmiah sebagaimana di ajarkan oleh Karl Marx. babak baru persaingan manusia tidak lagi berdasarkan persaingan individu (Individual Fight), melainkan persaingan ideologi (war under Ideology). Samuel Huntington menyebutnya dengan "Clash Of Sivilization". Sekali lagi pertikaian kemanusiaan terulang. Manusia kini terpetakan dalam jengkalan-jengkalan isme-isme. Inilah mungkin isyarat Al-Qur'an tentang sifat manusia yang selalu akan mengalirkan darah di bumi.

Liberalisme yang menjadi pola hidup masyarakat barat ternyata tidak selamanya menjadi pandangan hidup (World View) yang selaras dengan semangat humanisme, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi ataupun moral. Hal ini diakibatkan adanya persaingan yang tidak sehat dalam masyarakat. Jalur-jalur ekonomi misalnya hanya menjadi milik para pemilik modal (Kapital), sehingga timbullah kesenjangan luar biasa antara buruh (proletariat) dengan majikan (Borjuis). Kristalisasi dari liberalisme ekonomi inilah yang pada ahirnya melahirkan ideologi Kapitalisme. Dari parsaingan tak sehat itulah akhirnya muncul dehumanisasi dalam rumus dan label baru melalui eksploitasi, hegemoni dan dominasi.

Karl Marx melihat eksploitasi itu terjadi pada wilayah ekonomi. Determinisme ekonomi buruh terhadap majikan adalah satu hal yang menjadi konsentrasi Marx dalam karya-karyanya. Pandangannya dan Angles yang pengaruhnya sangat luas itu merupakan hasil dari pandangan filsafatnya tentang masyarakat dan sejarah yang dikenal dengan materialisme-historis. Menurut Marx, kecendrungan ekonomi kapitalis kepada krisis membawa kepada sosialisasi ekonomi-meskipun tidak membawa, tanpa suatu revolusi, kepada sosialisme. Lain dengan Fukuyama yang menyimpulkan bahwa akhir sejarah dimenangkan oleh Demokrasi Liberal (kapitalisme), Marx meramalkan akhir sejarah akan dimenangkan oleh sosialisme. Mimpi yang sampai saat ini tidak pernah terjadi.

Inti pandangan Marx adalah bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh bidang produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian bidang ekonomi merupakan bangunan dasar (basic structure), sedangkan dua dimensi kehidupan masyarakat lainnya, terutama institusi-institusi sosial, terutama negara dan bentuk-bentuk kesadaran sosial merupakan bangunan atas (super structure).

Bagi Marx, Negara dalam masyarakat borjois merupakan senjata represif dari kaum borjois. Negara sering digunakan sebagai kekuatan represif dalam mengamankan dan melayani kepentingan kaum borjuis. Disinilah marx melihat negara sebagai pelayan kaum borjois dalam melakukan dominasi dan eksploitasi terhadap kaum proletariat.

Dalam bukunya yang ia tulis dengan Engel , Das Kapital, Marx menjelaskan tentang perlunya menanamkan kesadaran (transformasi) kelas kepada kaum buruh (mayoritas) dalam mengatasi eksploitasi tersebut. Perlawanan kaum buruh harus segera dimulai karena kaum borjois telah hidup mewah dari kucuran keringan mereka, tanpa memperhatikan kesejahteraan buruh. Upah minim, tidak ada jaminan keselamatan, garis demarkasi pun membentang dan lain-lain. Marx berpendapat bahwa buruh perlu melakukan pengambil alihan alat produksi walaupun harus dilakukan dengan kekerasan (Anarchy Proletariat).
Transformasi merupakan sesuatu yang vital bagi proses perubahan, karena hal ini berkaitan langsung dengan individu-individu yang menjadi pioner pembebasan. Karl Marx menyatakan bahwa transformasi masyarakat dibayangkan melalui proses dialektika transformasi kontinyu dengan hadirnya pertentangan kelas yang merebutkan penguasaan terhadap berbagai alat produksi, dan saat mencapai puncak dialektika, akan tercipta masyarakat yang tak berkelas yang langgeng dan abadi.

Lain halnya dengan Marx, Antonio Gramsci, pengkritik paling fokal Marx, melihat bahwa dominasi pemilik modal terhadap buruh bukan cuma dalam bidang ekonomi, akan tetapi dominasi kultural ideologis memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap terjajahnya alam bawah sadar buruh. Gramsci menyebutnya dengan "Hegemoni". Senjata inilah yang sangat ampuh untuk melakukan "eksploitasi tersembunyi" terhadap buruh. Dominasi kultural ideologis menjadi opium yang melenakan kemiskinan dan pemiskinan buruh.
Bagi Gramsci, kelas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara yaitu melalui cara dominasi (domino) atau paksaan (coercion) dan yang kedua adalah melalui kepemimpinan intelektual dan moral. Cara inilah yang oleh Gramsci disebut hegemoni. Gramsci melihat bahwa dua hal itulah yang digunakan pemilik modal sebagai ”senjata" penguasaan kelas.

Apapun bentuk ideologi manusia, yang jelas manusia memang memiliki potensi yang besar untuk merusak dan menghancurkan. Potensi ini yang menyebabkan kehidupan manusia ada dalam satu dilema, distorsi kemanusiaan atau mati. Walluhu a'lam

War under Ideology : Oleh M. Aliyulloh hadi

0 komentar:

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang