Pendidikan Islam Berbasis Sabar

24 Jun 2009
Oleh : Triyo Supriyatno

Ada fenomena menarik dalam kehidupan agama dan keagamaan kita, yaitu: apakah sabar ada batasnya atau tidak? Ada dua jawaban yang selalu kita simak dalam kehidupan kita, ada yang menjawab ada batasnya, dan tidak ada batasnya. Fenomena keagamaan seperti ini akan terus muncul hingga akhir kehidupan ini. Bagaimana sebenarnya al-Qur’an menjelaskan hal itu, dan apa sebenarnya esensi dari sabar dalam kehidupan kita?

Pertama, al-Qur’an menjelaskan bahwa sabar diperlukan dalam rangka menghadapi ujian dari Allah SWT berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa (rasa tidak tentram), dan buah-buahan, sebagaimana firman Allah SWT di bawah ini:

قال الله تعالى : } ((آل عمران : 200) وقال تعالى {ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين} (( البقرة : 155))

Dari isyarat ayat tersebut, dapat dipahami bahwa untuk menghadapi problematika hidup berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, krisis jiwa (rasa tidak tentram), buah-buahan, dapat diatasi hanya dengan sabar. Sabar merupakan wasilah untuk mendapat berita gembira (berupa problem solving dari yang dihadapinya). Untuk mendapat natijah dari ujian tersebut wasilahnya adalah hadapi ujian itu dengan sabar. Inilah nilai-nilai universal al-Qur’an untuk seluruh umat manusia.

Kedua, al-Qur’an juga menjelaskan tentang kabar gembira tersebut, yaitu berupa pahala yang tiada hentinya dan tanpa hisab. Di sini jelas bahwa natijah ukhrawiyah ditekankan oleh al-Qur’an. Berbeda dengan natijah dalam dunia pendidikan sekuler yang hanya memperhatikan natijah dunyawiyah saja. Sebagaimana ayat di bawah ini:
وقال تعالى : {إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب} ((الزمر: 10))


Dalam konteks yang lain, al-Qur’an juga memberikan isyarat tentang sabar dalam beberapa hal di antaranya: (1) sabar dan memaafkan kesalahan orang lain; (2) hal itu merupakan perkara yang harus dilakukan dengan hati yang teguh. Dari dua hal ini, dapat dipahami bahwa sabar berdampingan dengan memaafkan kesalahan orang lain. Al-Qur’an mengajarkan umat manusia untuk memaafkan kesalahan orang lain, bukan menunggu agar orang lain meminta maaf lebih dulu. Kemudian ayat itu juga mengingatkan kepada kita bahwa hal itu memerlukan keteguhan hati (kemantapan hati) atau dalam bahasanya Paolo Friere (tokoh pendidikan Brasil) dikatakan sebagai kesadaran kritis. Dalam bahasa saya adalah kesadaran penuh. Sebagaimana friman Allah SWT di bawah ini:

وقال تعالى: {ولمن صبر وغفر إن ذلك لمن عزم الأمور} ((الشورى : 43))

Ketiga, al-Qur’an juga menjelaskan tentang permohonan seorang hamba kepada Pencipta-Nya (Allah SWT) dilakukan dengan cara sabar dan shalat. Sabar dan shalat sebagai mediator dalam melakukan permohonan/permintaan tolong dari seorang hamba kepada Pencipta-Nya. Dalam hal ini, al-Qur’an menekankan dua dimensi berupa dunyawiyah dan ukhrawiyah. Ada informasi yang ditekankan oleh al-Qur’an yaitu Allah SWT senantiasa bersama orang sabar. Allah SWT sebagai titik sentral segala urusan hidup dan kehidupan umat manusia ini ingin mendidik makhluk-Nya agar jangan lupa bahwa dia bersama Pencipta-Nya. Allah SWT tidak membiarkan saja kehidupan makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya di bawah ini:

وقال تعالى: {استعينوا بالصبر والصلاة إن الله مع الصابرين} ((محمد : 31))

Kesimpulan:
  1. Al-Qur’an tidak membatasi tingkat sabar seseorang, yang ditekankan adalah sabar senantiasa diperlukan dalam menghadapi ujian hidup dan kehidupan umat manusia.
  2. Sabar merupakan bagian dari tingkat kesadaran kritis kita atau kesadaran penuh seseorang.
  3. Dalam meminta sesuatu kepada Allah SWT diperlukan sabar dan shalat. Holistika dunyawiyah dan ukhrawiyah dalam menjalani hidup dan kehidupan. Wallahu a’lam.


29 Jumadil Akhir 1430H

0 komentar:

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang