23 Jun 2009
Oleh : Triyo Supriyatno
Setelah proses pembelajaran dan pengajaran berakhir, tugas dosen adalah menyusun soal ujian untuk mahasiswanya. Soal disusun dalam rangka untuk mengetahui daya serap atau daya tangkap mahasiswa dalam memahami materi perkuliahan yang telah diberikan oleh dosennya. Dalam penyusunan soal, dosen akan mengacu pada tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar dan indicator dari setiap materi perkuliahan. Jika hal ini tidak menjadi dasar atau pijakan maka dosen akan digugat oleh mahasiswanya. Dengan kata lain, dosen tidak akan membuat soal-soal yang akan menyulitkan mahasiswanya. Atau dosen tidak akan membuat soal-soal yang diluar kemampuan mahasiswanya. Yang lebih ekstrim lagi adalah dosen tidak akan membuat soal-soal yang ada di luar materi bahasan perkuliahannya.
Berangkat dari landasan di atas, maka muncullah beberapa fenomena yang perlu dicermati. Pertama, ada dosen yang membuat soal untuk menguji daya ingat mahasiswa saja. Soal yang disusunnya akan sesuai dengan bahan perkuliahannya, tetapi soal ini sifatnya hafalan. Sehingga lahirlah soal-soal yang akan berbunyi tentang “apa yang dimaksud……?”; “apa pengertian……..?”; dan lain sebagainya.
Kedua, ada dosen yang membuat soal untuk menguji daya analisis terhadap materi perkuliahan . Soal yang disusunnya akan tetap mengikuti bahan perkuliahannya, tetapi soal ini sifatnya deskriptif kualitatif. Sehingga lahirlah soal-soal yang akan berbunyi tentang “mengapa seorang anak berperilaku aktif di dalam kelas?” “mengapa seorang guru perlu memahami karakteristik siswa?” dan lain sebagainya.
Ketiga, ada dosen yang membuat soal untuk menguji daya analisis terhadap masalah yang ada dalam realitas. Soal yang disusunnya akan menjadikan bahan perkuliahannya sebagai landasan untuk problem solving terhadap masalah yang nyata adanya. Sehingga lahirlah soal-soal yang akan berbunyi tentang “ Bagaimana saudara menyelesaikan masalah tentang kenakalan siswa di dalam kelas dengan menggunakan teori belajar dan pembelajaran Albert Bandura?” Bagaimana saudara menyelesaikan masalah tentang akhlak tercela pada siswa dengan menggunakan teori akhlak Ibn Miskawaih? Dan lain sebagainya.
Saya yakin tidak hanya tiga tipologi seperti di atas yang akan muncul, tetapi akan bermunculan lebih banyak lagi. Mengapa? Karena setiap dosen akan memiliki tujuan atau kompetensi atau indicator pembelajaran yang berbeda-beda untuk para mahasiswanya. Setiap dosen akan memiliki cita-cita bagi mahasiswanya. Tanpa landasan ini maka dunia kampus akan sepi dari keanekaragaman hayati keilmiahan dari para dosen dan mahasiswanya.
Dengan berbagai macam tipologi soal yang lahir dari para dosen itulah maka akan lahir pula berbagai macam tipologi mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa yang kita cintai ini. Para mahasiswa akan melakukan penilaian tersendiri terhadap apa yang telah diberikan oleh dosennya. Penilaian ini pun ada yang sifatnya objektif dan subjektif. Kedua sifat, baik objektif dan subjektif juga sesuai dengan tipologi soal yang telah disusun oleh dosennya. Dan inilah makna yang esensi dari ungkapan “education as product”, pendidikan sebagai sebuah produk.
29 Jumadil Akhir 1430 H/ 23 Juni 2009
Kategori
- Aneka (1)
- Artikel (39)
- Bahasa dan Sastra (1)
- Berita (22)
- Download (2)
- Filsafat (4)
- Galery (3)
- HMI (4)
- Info (7)
- Internasional (10)
- Islam (21)
- Islam Indonesia (2)
- Jatim (4)
- Kata Sang Tokoh (1)
- Kehidupan (5)
- Malang (1)
- Nasihat (1)
- Nasional (6)
- Opini (12)
- Pendidikan (21)
- Politik (11)
- Potik (2)
- Renungan (4)
- Sains dan Teknologi (6)
- Tasawuf (2)
- Tentang Kahmi (8)
- UIN MMI (7)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar