Pendidikan Kita: Sebuah Refleksi untuk Bangkit

29 Nov 2008
MA. Busthonul Arif eL-Fahm

Pra wacana
Membincang pendidikan yang selalu mewarnai perkembangan masyarakat, justru sering menjadi prolem universal bagi masyarakat sendiri khususnya pada lapisan masyarakat bawah, hal ini terbukti dengan makin bertambahnya anak putus sekolah dan rendahnya tingkat pendidikan yang ditempuh. Hal ini tidak lebih karena factor financial, makin mencekiknya biaya untuk pendidikan sekolah, dan ditambah lagi biaya untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari yang semakin hari semakin susah.

Ditengah-tengah sibuknya para lembaga pendidikan “meng-iklan-kan” diri dalam rangka meraih simpati dari para calon peserta didik pada masa-masa ajaran baru seperti sekarang ini. Tidak bisa dipungkiri bahasa iklan memang sering mengecoh para komsumen yang kurang jeli jika melihat produk barang yang ditawarkan, dalam hal ini sekolah/kampus dan para perangkatnya, yang sering tidak sesuai dengan kenyatan yang ada.

Harus diakui bahwa perangkat dalam lembaga pendidikan tidak hanya cukup berupa bangunan fisik yang megah, tetapi juga harus juga ditunjang dengan bangunan non fisik (system internalisasi nilai-nilai akademis) yang tertata rapi sehingga menghasilkan out put peserta didik yang kompeten dan berkwalitas sesuai dengan yang “di-iklan-kan”.

Yang patut menjadi sorotan bagi kita saat ini adalah system dari perekrutan atau test masuk pada lembaga pendidikan baik itu sekolah maupun kampus. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ketika calon peserta didik tidak masuk kualifikasi secara comprehensive alias peserta didik cadangan, sering dijadikan korban pemerasan agar bisa masuk lembaga pendidikan yang dituju tersebut dengan membayar uang masuk yang lebih besar dari pada peserta lainnya.

Padahal biaya untuk masuk regestrasi ulang saja sudah cukup mahal. Belum lagi nanti biaya SPP, DPOP dan tetek bengek lainya yang alokasi dananya tidak jelas. Apakah pendidikan hanya ditujukan para kaum beruang, kaum borjuis? Bukankah ini yang disebut dengan kapitalisme pendidikan alias memperjual-belikan pendidikan! Berbisnis atas nama pendidikan!

Dimulai dari Problem Sejarah
Melihat Sejarah pendidikan di Indonesia bisa dipetakan dalam beberapa periode yang rentan waktunya terkait erat dengan sejarah bangsa Indonesia dalam meraih cita-citanya dalam mengapai kemerdekaan yang sejati, kemerdekan yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga kemerdekaan yang bersifat rohani, lepas dari kungkungan jerat segala penindasan, merdeka dari keterbelakangan dan kebodohan.

Kita bisa memulai awal periode adanya pendidikan di Negara ini pada masa penjajahan Belanda, bukan berarti hal ini menafikan pendidikan sebelum masa itu. Pendidikan pada zaman Belanda sebenarnya tidak lebih hanya untuk melangengkan kekuasaan mereka (baca Status Quo). Hal ini sangat kental sekali dengan adanya jarak demarkasi dan pendikotomian antara kaum ningrat, kaum kaya yang dekat dengan kekuasaan penjajah dengan kaum non ningrat, kaum miskin, rakyat jelata, kaum yang tertindas segala-galanya.

Pendidikan pada zaman penjajahan Belanda hanya diperuntukkan pada kaum ningrat memang bukan hanya sekedar karena mereka berduit. Tidak sekedar itu, bangsa penjajah mempunyai kepentingan ynag lebih besar, yakni agar rakyat khususnya rakyat bawah tidak membuat sebuah bentuk gerakan resistensi (perlawan) terhadap Belanda, dan para kaum ningrat terlenakan dengan fasilitas lebih daripada rakyat lain, rakyat jelata. Sehingga yang terjadi adalah pendidikan hanya bisa diakses dan dinikmati oleh para kaum kaya (dalam istilah Prancis terkenal dengan sebutan kaum borjuis), dan kalangan ningrat (kalangan atas atau kaum bangsawan) saja, sedangkan rakyat biasa hanya bisa menjadi penonton atas ketidak berdayaannya sendiri, sekedar untuk menjadi manusia yang lebih pintar. Disinilah sebenarnya mulai tumbuh kembangnya sebuah embrio dari system pendidikan yang kapitalis.

Periode selanjutnya adalah masa pra kemerdekaan, pada masa ini ditandai dengan disekolahkanya anak-anak para kalangan atas atau kaum bangsawan ke luar negeri, seperti Hatta, Sutan Sahrir dan kawan-kawan. Walaupun pendidikan dalam negeri masih belum ada perubahan yang signifikan dan masih sangat feodalis dan kapitalis, tetapi dengan keberadaan mereka sekolah diluar negeri Belanda hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Karena dari sinilah akan muncul sebuah bentuk resistensi terhadap kaum penjajah Belanda. yang mana pada periode selanjutnya mampu menjadi pengerak dalam meraih kemerdekaan.(Pribadi manusia Hatta.2002)

Periode kemerdekaan-pasca kemerdekaan, pendidikan pada periode awal kemerdekaan ada sebuah kemajuan bila kita bandingkan dengan Negara-negara tetangga pada waktu itu, hal ini terbukti dengan banyaknya para pemuda Negara tetangga semisal Malaysia, Singapura, dan lain-lainnya yang menimba ilmu di negeri ini, walaupun pada dasarnya kemajuan tersebut masih bersifat semu. Kalau kita coba lihat lebih dalam perkembangan pendidikan di Indonesia sebenarnya kurang ada perkembangan yang signifikan. Kita bisa melihat masih banyaknya penduduk di Indonesia yang sebagian masih buta huruf dan buta buku. Hal ini tak lebih adalah factor dari system pendidikan itu sendiri yang masih bersifat elitis, yang hanya bisa terjangkau oleh masyarakat tertentu yakni kaum orang-orang yang berduit (borjuis). Sedangkan kita sendiri tahu bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah berpendapatan dibawah rata-rata.

Diakui atau tidak itulah relitas sejarah pendidikan di Indonesia, hal ini diperburuk dengan buku-buku sejarah yang cenderung untuk mereduksi (meniadakan) para tokoh-tokoh terpelajar sebagai pejuang kemerdekaan yang kemudian lebih didominasi oleh paradigma dan alam pikiran yang militeristik. Sehingga yang terjadi seolah-olah penjajah hanya takut pada bambu runcing dan senjata perang lainya. Maka konsekuensi dari alam pikiran yang mendewasakan kekuatan fisik dan kurang menghargai nalar itu adalah merebaknya budaya kekerasan sebagai mekanisme penyelesaian masalah bukan proses dialektika yang elegan.

Pasarisasi Sekolah
Ada hal yang menarik untuk diteliti kembali mengenahi angaran untuk dunia pendidikan. Banyaknya alokasi dana untuk dunia pendidikan tidak ada jaminan bahwa pendidikan akan lebih murah dan terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah. Masalah yang paling krusial adalah Anggaran Pendidikan yang tinggi hanya memiliki makna bagi upaya peningkatan mutu pendidikan nasional, bila seluruh dana tersebut terserap untuk pengembangan pendidikan secara efektif dan efesien, dan tidak terlalu banyak dikorup dan diselewengkan oleh aparat pendidikan(Darmaningtyas.2005).

Dunia pendidikan kita tak lebih hanya sekedar sebagai lahan bisnis untuk mengeruk keuntungan material yang sebesar-besarnya bagi individu ataupun kelompok tertentu, problem inilah yang sering kali menjadi penghambat secara subtantif bagi perkembangan pendidikan itu sendiri. Generasi bangsa dalam hal ini para peserta didik sudah harus dibebani dengan biaya yang tinggi,yang pada akhirnya orang tua muridlah yang harus menangung beban yang sangat berat tersebut.

Ada lagi pendidikan yang digunakan seperti ajang bisnis dengan sistem lelang. Bagi siapa yang mengeluarkan uang paling banyak memiliki peluang tinggi untuk dapat mengenyam pendidikan di institusi pendidikan tertentu. Hal ini menjadi sangat tidak layak sekali dilakukan oleh sebuah bentukan institusi pendidikan, apa lagi yang masih bertatus milik negara. Dimana seharusnya, semua orang berkesempatan untuk sekolah ditempat itu. Jadi bukan hanya orang yang memiliki tawaran terbanyak.

Contoh umum yang terjadi dalam dunia perguruan tinggi misalnya, terdapat beberapa jalur masuk yang ditawarkan untuk dapat menjadi seorang mahasiswa. Semakin jelas menggambarkan peluang yang mudah didapat bagi kaum bermodal. Sebagai alasan salah satu cara menunjang fasilitas pembangunan perguruan tinggi yaitu kerjasama orang tua mahasiswa dengan perguruan tinggi lebih terpusat pada bisnis.

Itulah realitas pendidikan kita yang sebenarnya lebih cocok disebut sebagai “pasar” karena muatan penjualan atau membisniskan atas nama pendidikan lebih dominant daripada “proses memanusiakan manusia”. Untuk masuk lembaga pendidikan saja susah, untuk lulus ujian susah, apalagi setelah lulus sekolah ternyata lebih susah, itulah pendidikan (susah) di Indonesia.
Ala kully hal, Semoga dengan terealisasinya kebijakan alokasi anggaran Negara untuk pendidikan sebesar 20% bisa memberikan angin segar bagi kita semua, setidaknya pemerintah sudah mempunyai niatan baik untuk memperbaiki pendidikan kita ini. Dan untuk selanjutnya salah satu tugas kita adalah mengawal anggaran tersebut agar tidak salah sasaran dan sengaja disalah-sasarkan…..

0 komentar:

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang