Kesetaraan Gender Dalam Islam (1)

25 Nov 2008
(Menyimak Metode Penelitian Tentang Gender Amina Wadud)
oleh: M. Mukhlis Fahruddin

Pendahuluan

Amina Wadud adalah seorang akademisi perempuan yang kiprahnya banyak kita kenal di dunia feminis. Reputasinya cukup signifikan dalam dinamika keilmuan dunia, terlebih di dunia keintelektual Islam. Kemunculan pemikiran Amina Wadud di latar belakangi adanya fenomena marjinalisasi peran perempuan dalam kehidupan-ketidakadilan sosial dan kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan. Adanya budaya patriarki, struktur sosial masyarakat, kesemuanya itu yang selanjutnya dapat mempengaruhi penafsiran dari ayat-ayat al-Qur’an tentang perempuan, akibatnya terjadilah marjinalisasi perempuan, khususnya di kalangan muslim.

Amina Wadud menawarkan metode untuk pemahaman yang komprehenship dari ayat-ayat al-Qur'an tentang perempuan, menetralisir kesubjektifisan penafsiran dan sekaligus kewaspadaan penafsiran, siapa yang menafsirkan dan bagaimana penafsirannya. Terinpirasi dari metode hermeneutik gerakan ganda (double movement) dan penafsiran tematik Fazlur Rahman, analsis historis dari Fatimah Mernisi, kajian fenomenologinya Laila Ahmad, Martin Buber, Abou El Fadl, dan beberapa pemikir lainnya, Amina Wadud menyajikan metode penafsiran dari al-Qur'an bil al-Qur'an dengan analisa filologi, hermenetik dan beberapa pemetakan pemikiran tafsir disertai dengan kontektualisasi ayat. Wadud menganalisis teks ayat-ayat al-Qur'an, dengan memusatkan pada susunan bahasa al-Qur'an yang bermakna ganda dengan tujuan mengambarkan maksud teks secara komprehensip tentang perempuan. Prinsip umum (universalitas) al-Qur'an, keadilan, kesetaraan martabat manusia menjadi landasan Wadud dalam rangka mendapatkan pandangan hidup yang cocok bagi perempuan modern saat ini.

Wadud memfokuskan kajiannya pada penafsiran ayat-ayat al-Qur'an tentang perempuan, dan beberapa faktor yang menyebabkan marjinalisasi peran dan fungsi perempuan dengan mengunggulkan peran laki-laki dalam segala lini kehidupan. Penelitian ini sangat penting dilakukan sebagai upaya meluruskan kesalahan penafsiran dari ayat-ayat al-Qur'an tentang perempuan yang seharusnya mengandung nilai universal, keadilan sosial serta kesetaraan derajat gender. Penafsiran yang salah berakibat pada marjinalisasi dan pembunuhan potensi kaum perempuan.

Amina Wadud memulai kajiannya dengan mengungkap problem ketimpangan pemaknaan/penafsiran ayat-ayat perempuan dan produk fiqh. Dilanjutkan dengan penjelasan fenomena relasi fungsional laki-laki dan perempuan dengan budaya partiarki yang berpengaruh pada penafsiran. Selanjutnya ia menerangkan teori-teori dalam mengkaji/menganalisis dan memahami sebuah ayat-ayat tentang perempuan, dengan kontek turunnya ayat (histories) yang ada dalam rangka mencari pemahan yang tepat (komprehenship).

Problematika (Kegelisahan Akademik)
Kegelisahan Amina Wadud diawali dari fenomena termarjinalisasinya perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Interpretasi tentang perempuan dalam al-Qur'an yang ditafsirkan oleh pria (mufasir) beserta pengalaman dan latar belakang sosial mereka yang dinilai telah menyudutkan perempuan dalam perannya ditengah publik dan dirasa tidak ada keadilan paradigma, lebih lanjut lagi pada produk fiqh atau syari’ah. Al-Qur'an sebagai pedoman universal, tidak pernah terikat ruang dan waktu, latar belakang daerah ataupun jenis kelamin yang selanjutnya bernilai abadi dan tidak membedakan jenis kelamin, untuk itu Wadud berusaha menghadirkan pandangan ayat-ayat yang netral tentang gender.

Amina wadud ingin membangkitkan peran perempuan dalam kesetaraan dalam relasi gender, dengan berprinsip pada keadilan sosial dan kesetaraan gender. Realitas dalam Islam menunjukan kenapa peran perempuan terbelakang dari pada laki-laki (patriarki). Dia juga ingin menyelamatkan perempuan dari konservatifme Islam. Menurut Amina Wadud banyak hal yang menyebabkan penafsiran miring tentang perempuan; kultur masyarakat, kesalahan paradigma, latar belakang para penafsir yang kebanyakan dari laki-laki, oleh karena itu ayat tentang perempuan hendaklah ditafsirkan oleh perempuan sendiri berdasarkan persepsi, pengalaman dan pemikiran mereka.

Problem selanjutnya bagi Amina Wadud adalah berkaitan dengan model penafsiran dari para mufasir, selanjutnya kepada produk fiqh, term-term dan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan. Banyak ayat-ayat yang ditafsirkan tidak mengandung prinsip ke universalitas Islam dan konsep keadilan/ kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu perhatian Amina Wadud sangat tinggi dalam hal terminologi atau pendefinisian suatu objek.

Pentingnya Topik Penelitian
Topik penelitian ini penting untuk menjelaskan/ meluluskan pemahaman tentang fenomena gender yang terkait dengan perlakuan dan peran perempuan di tengah masyarakat dalam segala aspek kehidupannya. Usaha Aminan Wadud adalah terobosan memecah ketidakadilan penafsiran tentang perempuan. Upaya ini penting untuk menghilangkan ketimpangan relasi gender, laki-laki dengan perempuan dikalangan umat Islam. Ketimpangan inilah yang membelenggu potensi yang luar biasa yang dimiliki perempuan.

Penelitian ini menjadi unik karena Amina Wadud sendiri merasa punya keterbatasan pengertahuan tafsir al-Qur'an yang menyangkut perempuan. Ia menyadari bahwa ketertarikan para intelektual Islam terhadap persoalan perempuan bukan hal yang baru, hanya saja ia berupaya untuk menjawab persoalan tentang perempuan dengan bersumber pada al-Qur'an an sich ternyata nyaris tidak dilakukan oleh intelektual Islam sejak 14 abad yang lalu. Apalagi di era kritik pasca modern saat ini ketika setiap landasan ilmu pengetahuan ditantang untuk bergerak melampaui nilai-nilai tertentu diperlukan suatu pemahaman terhadap politik wacana gender dalam kontek Islam secara global.

Hasil Penelitian Terdahulu
Amiana Wadud menelaah penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya; karya-karya Fazlur Rahman, Fatimah Mernisi, Leila Ahmad, Martin Buber, Khaled Abou El Fadl, Majid Fakhry dan mengabil beberapa tokoh yang lainya untuk memperkuat metodologi dalam menganalisis problem ini.

Pertama Fazlur Rahman telah banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran Amina Wadud dalam penafsiran, terutama metode penafsiran yang holistik yang menekankan telaah aspek normatif dari ajaran Islam. Teori holistik menawarkan metode pemahaman al-Qur'an yang menyatu (coherent) disebut sebagai metode hermeneutik (hermeneutik theory). Wadud mengadopsi metode Rahman dengan sebutan gerakan ganda (double movement), dan metode tematik ayat yang bertujuan untuk mengurangi subjektifitas penafsir.

Kedua Fatimah Mernisi, yang telah menawarkan pengkajian tentang ayat-ayat al-Qur’an yang lebih difokuskan pada aspek kultur-historis, dari sinilah dianalisa bagaimana kontek ayat tersebut turun dan bagaimana kondisi, kultur masyarakat pada suatu daerah yang selanjutnya akan berbeda penafsirannya dari daerah satu dengan yang lainya, misalnya nalar orang Arab dengan pengaruh budaya yang ada akan berpengaruh pada praktek ritual dalam ibadah (Islam). Tema kajiannya adalah tentang feminisme.

Ketiga Leila Ahmad, menyajikan hal yang hampir sama dengan Fatimah Mernisi, focus perhatian Leila Ahmad pada fenomena kelompok pemahaman muslim, selanjutnya tertarik pada fenomena ritual dan culture masyarakat yang berpengaruh pada perlakuan pada peran perempuan. Ada perbedaan nalar pemahaman keberagamaan dari masing-masing daerah karena latar belakang budayanya, misalnya Islam di Timur Tengah dengan Islam di Barat sangat berbeda penerapannya, hal ini di karenakan adanya interaksi Islam dengan budaya lokal.

Keempat Marten Buber dengan I-Thou dan I-It. Dalam meneliti sebuah agama tidak bisa menggunakan metode ilmu-ilmu alam untuk mendapatkan kebenaran ataupun objektivitas. Ada sistem kepercayaan yang harus dilihat secara menyeluruh (I-Thou), relasi tuhan-individu dan masyarakat adalah suatu sistem yang harus dikaji secara holistik, kajian terhadap agama tidak sekedar terfokus pada simbol, kitab suci, lembaga keagamaan, hal itu tidak akan membawa seorang peneliti kepada pemahaman tentang suatu agama, itulah I-Thou. Tahap I-It di dalam kajian agama hanya menghasilkan kumpulan data mengenai aspek luar dari agama, agama hanya sebagai objek (I-It).

Kelima, Khaled Abou El Fadl, menawarkan konsep outoritas penafsiran (fatwa), dia berpendapat tidak ada yang berhak mengklaim bahwa interpretasinya itulah yang paling benar dan paten tidak bisa dirubah karena merasa ini dari Tuhan, outoritas intepretasi yang paling benar adalah dari Allah, bukan dari para ulama’, penafsir yang seolah-olah itulah dari Tuhan dan itulah Islam.
Keenam, Majid Fakhry dengan teori etiknya. Dia mendasarkan segala permasalahan kepada pesan moral dari al-Qur'an. Walau pendefinisian etika dari masing individu dengan latar belakang budaya akan berbeda, tetapi ada prinsip dasar tentang itu, yaitu kesatuan nilai moral yang terkandung di dalamnya. Prinsip ini bisa kita lihat pada konsep taqwa, amar ma’ruf nahi mungkar, keadilan dan lain sebagainya.

berlanjut >>>

0 komentar:

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang