Larangan Berjilbab Anti Pluralisme

13 Nov 2008
Sudah dua hari ini TVone menayangkan diskusinya mengenai larangan pekerja yang mengenakan jilbab. Wine Dwi Mandella adalah seorang karyawan yang bekerja di Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi yang tidak diperkenankan oleh pihak RS memakai jilbab saat menjalankan tugasnya. Karena kami pandang masalah ini bukan masalah suatu siaran televisi saja, melainkan masalah sangat serius bagi keutuhan, demokrasi, dan masa depan bangsa, maka kami memandang perlu untuk menyampaikan pendapat.

Alasan yang mereka sampaikan dari pihak rumah sakit hanya menekankan pada (1) Peraturan Rumah sakit telah menentukan model pakaian, jadi berdasarkan peraturan tersebutlah sehingga larangan berjilbab itu ada. (2) Pihak management ingin menjaga netralitas dari RS yang dikelolanya, dengan tidak mengikutsertakan atau menanggalkan identitas-identitas agama termasuk jilbab.

Sungguh alasan-alasan tersebut tidak mencerminkan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Tidak ada satu sisipun yang bisa membenarkan pandangan atau keputusan tersebut. Dari segi agama, pihak RS telah benar-benar melecehkan agama. Karena berjilbab adalah merupakan bentuk kewajiban menjalankan perintah agama, seperti halnya menjalankan sholat. Kalau saja RS ingin menjaga netralitas, maka justru ini merupakan bentuk keberpihakan terhadap kelompok yang tidak menyukai orang yang menjalankan agama secara benar. Tindakan ini adalah anti pluralisme yang justru tidak selaras dengan akar budaya, moralitas, keberagaman serta keberagamaan bangsa Indonesia.

Jika saja rumah sakit telah menentukan model pakaian, maka kenapa model yang dibuat tidak mengakomodir kepentingan muslimah yang ingin mengenakan jilbab. Justru menurut keterangan saudara Wine, tidak ada keterangan/persyaratan sebelumnya bahwa karyawan dilarang mengenakan jilbab. Tapi yang terjadi adalah intimidasi dan pemaksaan untuk mengundurkan diri dari RS kepada orang yang mengenakan jilbab.

Menurut Komnas HAM dari juru bicaraya Hesti Armiwulan, menyatakan, tindakan Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi, Jawa Barat, yang melarang tenaga medisnya mengenakan jilbab adalah bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM. Padahal, siapa pun tidak diperbolehkan membuat orang lain kehilangan pekerjaan hanya karena pilihannya mengenakan pakaian Muslim. Komnas HAM siap mengambil tindakan penegakan HAM jika korban membuat laporan resmi. ''Perusahaan tidak boleh melihat orang bekerja hanya dari penampilan fisiknya. Apalagi, ini terkait pilihan menjalankan ajaran agamanya,''(Republika).

Anehnya solusi yang mereka tawarkan adalah membolehkan bekerja tapi akan memindahkan saudara Wine bukan dipekerjakan sebagai perawat tapi berpindah menjadi tenaga administrasi. Tawaran ini jelas bukan solusi, tapi bentuk pengalihan masalah dan bukan menyelesaikan masalah. Persoalan sesungguhnya adalah pada mekanisme kerja, tapi buka pengalihan kerja. Bahkan sempat RS membolehkan berjilbab dengan pengecualian hanya berlaku untuk Wine saja. Ini juga langkah diskriminatif, bukan mencerminkan kebijakan atas dasar hukum dan profesionalisme.

Mesti akhirnya pihak rumah sakit menurut keterangan penasihat hukumnya membolehkan memakai jilbab di Rumah Sakit dan sekarang sudah pada tahapan mode pakaian saja, itu adalah proses yang perlu kita hargai dan tinggal menunggu hasilnya. Dan yang pasti masalah ini tidak terulang lagi dikemudian hari. Wallahu’alam (AR)

0 komentar:

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang