Proyeksi Misi Ketuhanan dan Kemanusiaan

1 Jan 2008
Proyeksi Misi Ketuhanan dan Kemanusiaan
Dari Self liberation menuju Menuju Social liberation
Eri Zubairi AB *

Pra Wacana
Pembahasan tentang manusia dan Tuhan selalu menghadirkan polemik panjang dikalangan agamawan dan filosuf seiring berkembangnya pemahaman dan pola pikir manusia yang dinamis. Sejak era klasik yang dimotori oleh Thales, sebagai Bapak filsafat dari Yunani sampai era postmodernisme dengan sejumlah tokohnya; J. Derrida, Sartre, Lacan, Baoudrilard, dan lain sebagainya. Tak terkecuali para filosuf Islam yang turut andil dalam diskursus ini; al Kindi, al Farabi, Ibnu Sina, al Ghazali, Ibnu Rusyd, dan lainnya merupakan para pendekar Islam yang menyumbangkan pemikirannya di dalam merumuskan konsep ketuhanan dan kemanusiaan. Perdebatan dua entitas yang berbeda ini, yang Absolut dan yang relatif tidak akan pernah menemukan kata sepakat (ittifaq), ini disebabkan paradigma atau sudut pandang yang berbeda.

Tiap agama memakai term yang berbeda dalam mengungkapkan tujuan akhir (ultimate goal) manusia, walau sebenarnya mempunyai makna yang sama secara substantive; Satya, yaitu suatu keadaan manusia yang telah mencapai kebenaran yang absolut (Hindhu), Nirwana yaitu suatu tujuan tertinggi ketika diri telah melakukan pemadaman total, yang dipadamkan adalah batas diri kita yang berhingga ini yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu menjadi tak terhingga (Buddha), YHWH yaitu suatu entitas tertinggi yang transenden yang wajib disembah (Yahudi), Tao yaitu jalan dari kenyataan terakhir yang menjadi dasar bagi semua yang ada yang digambarkan sebagai “rahasia kehidupan yang paling besar, rahasia dari segala rahasia, gerbang rahasia semua kehidupan” (Taoisme), Te adalah kekuatan yang memerintah manusia yang terkandung dalam teladan moral (Konghucu). Dalam Islam sendiri terkenal dengan sebutan al Haq, kebenaran mutlak, atau biasa disebut Allah, yang secara etimologi bermakana sesuatu yang dipuja, suatu dzat yang meliputi seluruh alam semesta.
Terlepas dari polemik tersebut, pada pembahasan ini lebih menekankan terhadap cara pandang manusia modern dalam memposisikan diri dan Tuhan di tengah realitas kehidupan masyarakat. Lalu bagaimana dengan Islam ?

Ketuhanan Yang Mahaesa : Simbol Pembebasan
Ketuhanan yang Mahaesa di dalam Islam disebut dengan Tauhid (monoteisme). Tauhid merupakan dasar dari kepercayaan Islam. Tauhid berarti meyakini bahwa tidak ada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah serta tidak menyekutukannya. Keimanan kepada Allah merupakan kodrat atau fitrah manusia. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)"
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
Ayat tersebut dipertegas oleh Rasulullah, yang menjelaskan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), sebagaimana hadits yang berbunyi: “kullu mauludin yuladu alal fitrah”
Cak Nur, dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban menjelaskan bahwa dua kalimat syahadat lailaha illallah merupakan demitologi dan desakralisasi terhadap tuhan-tuhan kecil serta kepercayaan palsu yang berakibat terhadap adanya sebuah proses pembebasan diri (self liberation) yang berlanjut kepada pembebasan sosial (social liberation). Dalam kalimat tersebut terkandung dua pengertian: peniadaan (al nafy, negation) dan pengukuhan (al istbat, affirmation). “Tidak ada tuhan” merupakan konsep peniadaan terhadap segala bentuk kekuatan apapun yang diyakini mampu mendatangkan kemanfaatan dan dapat menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi manusia, “kecuali Allah” (Cak Nur: Tuhan) adalah bentuk pengakuan dan pengukuhan sebagai satu-satunya dzat yang paling berhak kepada-Nya kita tunduk (al din) dan pasrah secara totalitas (al islam). Dengan demikian, konsep tauhid dalam Islam memulai ajarannya dengan meniadakan sama sekali (al nafy lil jinsi) suatu bentuk sesembahan atau tuhan (ilah) yang lain.
Islam dengan konsep tauhidnya datang tidak kenal kompromi. Sebagaimana yang telah dijelaskan seorang muslim harus mampu menghilangkan (negasi) segala bentuk dependensi terhadap benda-benda dan memandangnya sebagai benda apa adanya, benda-benda yang seharusnya ditundukkan dan dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Semua benda yang semula dipuja-puja, dan karenanya diyakini mengandung nilai akhirat, spiritual atau agama, harus dicampakkan kembali ke bumi, dan dipandang sebagai tidak lebih daripada benda duniawi belaka. Manusia dengan potensi indera dan akalnya diperintah untuk memikirkan alam ini, dari proses awal terciptanya, hukum-hukum yang mengitarinya, dan cara menguasai dan menggunakannya. Terdapat sekitar 750 ayat yang menunjuk kepada fenomena alam, dan hampir seluruh ayat tersebut memerintahkan untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan penciptaan alam dan perintah merenungkannya (Ghulsyani, 1991), bukan untuk disembah.
Itulah pembebasan pertama dari tauhid, yakni membebaskan manusia dari belenggu kepercayaan palsu, dan dengan pemusatan kepercayaan hanya kepada yang ‘Mahabenar’. Dua hal ini terangkum dalam dua surat pendek dalam al Qur’an yang termaktub pada QS. al Kafirun dan al Ikhlas. Yang pertama oleh Ibnu Taimiyah mengandung tauhid uluhiyyah; penegasan akan kesadaran bahwa yang wajib disembah hanyalah Tuhan Yang Mahaesa (Allah) satu-satunya, sehingga terjadi proses desakralisasi terhadap sesuatu yang bersifat duniawi yang profan dan relatif, dan sesuatu yang transenden dan absolutlah yang berhak disakralkan, yakni Tuhan. Kedua tauhid rububiyyah; penegasan kesadaran bahwa Tuhan yang Mahaesa, yang satu secara mutlak dan transenden, sebagai pencipta dan pengatur segalanya. Dan ketiga, tauhid sifatiyah, suatu kesadaran bahwa segala kebaikan yang diajarkan Tuhan harus diupayakan untuk membumikannya dalam kehidupan.
Bentuk sakralisasi harus dilawan. Perlawanan melalui proses self liberation _istilah Cak Nur_ akan mengantarkan manusia mampu menangkap kebenaran yang sebenarnya. Implikasi dari pembebasan ini adalah seseorang akan menjadi “manusia yang terbuka, yang secara kritis selalu tanggap kepada masalah-masalah kebenaran dan kepalsuan yang ada di tengah masyarakat. Dan sikap tanggap itu, ia lakukan dengan keinsyafan sepenuhnya akan tanggung jawabnya atas segala pandangan dan tingkah laku serta kegiatan dalam hidup ini”. Yang semuanya muncul dari rasa keadilan (al ‘adl) dan perbuatan positif kepada sesama manusia (al ihsan).
Efek pembebasan tauhid di atas, akan mengalir dari yang sifatnya individual kepada yang lebih social. Menurut Cak Nur, dalam al Qur’an prinsip tauhid berkaitan dengan sikap menolak thaghut (apa-apa yang melampaui batas _termasuk terhadap dunia; penulis), sehingga konsekuensi logis tauhid adalah pembebasan social yang bersifat egalitarianisme dan demokratis. Maka, tauhid memperoleh maknanya yang konkrit, yaitu desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyyah (transendental), yaitu dunia ini.
Seorang ahli fisika modern, Huston Smith menyatakan bahwa “Islam yang berarti sikap pasrah atau tunduk” (kepada Tuhan) justeru menjadi pangkal kebebasan kaum muslim dan sumber energi mereka yang hebat, sebagaimana terbukti dari ledakan politik luar biasa oleh orang-orang Arab muslim pada abad VII.. Ia menulis dalam Beyond the Post-Modern Mind, yang dikutip Cak Nur, “submission (in Arabic, Islam) was the very name of the religion that surfaced through the Koran, yet its entry into history occasioned the greatest political explosion the world has known.
Lebih ekstrem lagi, Kazuo Shimogaki menegasdkan bahwa pemaknaan terhadap Tauhid hanya sebagai wahana mengesakan Tuhan ataupun sebagai tandingan konsep trinitas agama Kristen, bukan cuma salah tetapi konyol dan hampa. Karena ketika suatu agama dihakimi oleh agama lain dan ketika sebuah nilai dihakimi oleh nilai lain, maka yang terjadi adalah prasangka. Dari uraian Shimogaki inilah kiranya dapat ditelusuri dan ditelaah pemikiran kontroversial seorang tokoh, pemikir dan filosuf Islam dari Mesir, Hasan Hanafi, yang berusaha mendekonstruksi wacana-wacana hegemonic dan dominan, salah satunya tentang upaya menghadang invasi kultural Barat yang bercorak orientalisme. Dalam hal tauhid, Hanafi berpendapat bahwa tauhid bukan saja sebuah relasi teosentris, akan tetapi tauhid dalam Islam harus dipahami sebagai sebuah jaringan relasional Islam yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia baik sosial, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Sehingga diharapkan Islam yang selama ini melangit benar-benar mampu berdialog dengan realitas kemanusiaan di bumi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa konsekuensi logis dari tauhid adalah mampu membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tiranik hegemonik-eksploitatif. Melalui gerakan Kiri Islam (al Yasar al Islami), ia memberi kongklusi bahwa Islam harus menjadi agama revolusioner, progressif dan transformatif, sehingga klaim yang menyatakan bahwa Islam hanyalah sebuah agama yang mengatur kehidupan ukhrowi (spiritual oriented) an sich secara otomatis akan terbantahkan.
Ziaul Haque berpendapat bahwa Islam tidak boleh dipahami hanya sekedar agama teosentris, ia berusaha membuktikan bahwa Islam adalah agama yang secara kontinyu melakukan pembelaan dan advokasi terhadap kaum tertindas (mustadl’afin) dari eksploitasi kaum kapitalis, serta terus berusaha mengadakan perombakan-perombakan terhadap kemapanan yang tiranik-eksploitatif. Dialektika antara Islam dan realitas empiris harus terus berjalan, sehingga akan terbentuk suatu penataan-penataan yang lebih up to date dan relevan dengan kondisi dan sosio-kultur masyarakat, sebuah tatanan yang lebih humanis, adil dan harmoni.
Secara lebih sistematis dan komprehensif pembahasan tentang tauhid, kemanusiaan dan implikasinya dilakukan oleh Syahrin Harahap. Beliau menjelaskan, ada tiga hal yang perlu dilakukan agar Islam benar-benar ikut andil dalam pergulatan realitas empiris kemanusiaan, ketiga hal tersebut adalah keimanan (tauhid), amal dan kesadaran. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa diperlukan adanya pencerahan kesadaran ilahiyah dengan cara mengaplikasikan akidah dan keimanan dalam tataran amal shaleh dan akhlakul karimah. Keislaman seseorang dengan demikian dimulai dari proses yang sangat intensif sampai ia menjadi shaleh secara individu dan selanjutnya menjadi pelopor kesalehan social.
Tauhid memunculkan sebuah paradigma baru yang disebut paradigma pencerahan ilahiyah. Konsep ketuhanan yang mahaesa (tauhid) dalam Islam, tidak boleh diartikan sebagai sebuah pengesaan terhadap Tuhan an sich, karena pendapat demikian bukan cuma parsial, akan tetapi telah mendistorsi makna tauhid itu sendiri. Tauhid harus diartikan sebagai sebuah world view, yang dengan tauhid tersebut tidak hanya berakibat terhadap transformasi kesadaran ilahiyah (teosentris) semata yang transenden dan absolut, akan tetapi juga dapat menumbuhkan transformasi kesadaran kemanusiaan (antroposentris) dalam melakukan pergulatan dengan kehidupan duniawi. Dari pemahaman demikian diharapkan akan tercipta sebuah kehidupan yang harmonis – meminjam istilah Hindu: Tri Hita Krana --, antara Tuhan, manusia dan alam, yang merupakan pengejawantahan dari tiga surat terakhir al-Qur’an, yaitu al-Ikhlas (Tuhan), al-Falaq (alam) dan al-Nas (manusia).

Post Wacana
Dari uraian singkat di atas, dapat ditarik suatu kongklusi bahwa manusia yang mempunyai nilai tauhid sejati akan berimplikasi secara signifikan dalam kehidupannya. Manusia tauhid adalah manusia yang telah mampu membebaskan diri-- akal dan hati – nya dari segala dependensi terhadap selain Tuhan. Tuhan telah menjadi landasan dalam hidupnya, sebagai starting point sekaligus ultimate goal di dalam melakukan segala aktifitas sebagai khalifah (mandataris) Tuhan di bumi. Nilai tauhid harus tereksternalisasi dalam hidup bermasyarakat tanpa adanya distingsi dan diskriminasi melihat manusia lain. Kesadaran akan nilai Ilahiyah ini akan melahirkan manusia-manusia yang tidak hanya beriman dan beribadah ansich, akan tetapi mampu beramal saleh dan berakhlak mulia serta peduli terhadap lingkungannya, sehingga tercipta pola hubungan yang harmonis yang bebas dari tiranik-hegemonik-eksploitatif sesama manusia, karena nilai tauhid sendiri adalah pembebasan dari bentuk-bentuk tersebut, baik secara individu ataupun sosial.

* Penulis adalah Alumni HMI Tarbiyah UIN Malang dan mantan direktur Elsafi (Lembaga studi aqidah dan filsafat
)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

artikelnya bagus, kita memang harus mengaktifkan kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan yang udah lama tertidur. hey teman-teman yang lain pada kemana

Anonim mengatakan...

artikelnya persuasif, aq ada pertanyaan, bagaimana meningkatkan kesadaran hati nurani kepada sang Pencipta bagi sosok manusia yang baru/sedikit dalam memahami Islam agar tidak goyah dengan keyakinannya (selalu percaya terhadap apa yang diyakininya)??

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang