Oleh: Déé_Mayang
Tulisan ini (atau lebih tepatnya catatan harian), sejatinya aku tulis sebagai bentuk dari sebuah kegelisahan. Itu terjadi sewaktu aku mengikuti refleksi akhir tahun (Hijriyah) bersama Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Malang Komisariat Tarbiyah UIN Malang -tempatku berhimpun- tanggal 10 Januari 2008. Ini semacam pergolakan yang kemudian menemukan muaranya di sini. Betapa tidak, hanya dengan melampiaskan lewat tulisan seperti ini kegelisahanku menjadi tandas setandas-tandasnya.
Refleksi akhir tahun tersebut mengambil bentuknya dengan diskusi yang bertemakan: “Muharram Sebagai Refleksi terhadap Bencana yang Melanda Bangsa” yang kemudian diakhiri dengan “ritual” bakar jagung bersama. Hadir sebagai pembicara (baca: fasilitator) pada acara tersebut adalah Mujaiz Kumkelo –bagian kemahasiswaan UIN Malang. Tak sedikit yang hadir dalam acara itu mulai dari kader “lama” hingga kader yang baru saja lulus mengikuti Basic Training (LK-I) juga turut serta meramaikannya.
Sesuai tema yang diangkat, Mujaiz mengawali diskusinya yang berlangsung sekitar 38 menit itu dengan menyitir al-Qur’an surat al-A’raf: 96-101. Menurutnya, iman (baca: kepercayaan) dan takwa adalah niscaya agar manusia bisa meraup serangkaian berkah dari Tuhan yang ada di langit dan bumi. Lebih jauh, dia menandaskan bahwa iman dan takwa merupakan harga mati yang tak bisa ditawar lagi bagi manusia agar aman dan tak ketiban bencana serta malapetaka yang tak kepalang tanggung yang bisa saja datang di malam mau pun di siang hari.
Artinya bahwa, kalau ada bencana atau malapetaka sedang melanda sekelompok orang, masyarakat, atau pun sebuah negara, ini menunjukkan bahwa keimanan dan ketakwaan orang-orang yang ada di dalamnya sudah mengalami nasib sedemikian tragis. Demikianlah salah satu statemen yang coba diketengahkan oleh Mujaiz dalam kesempatan itu, setidaknya bagi aku. Di sini, relegiusitas -spesifik Tuhan- menjadi tolok ukur utama (baca: diposisikan) segala urusan dunia baik mengenai kesenangan atau pun bencana yang ditimbulkannya. Sepertinya teosentrisme yang pernah cemerlang pada abad pertengahan dalam ‘buku putih’ kehidupan anak manusia semakin dirindukan oleh tak segelintir orang.
Perlu dicatat, bahwa gelombang revolusi yang bertubi-tubi dan menghantam daratan Eropa mulai Revolusi Renaisans (abad 16) hingga Revolusi Industri (abad 19), sejatinya merupakan reaksi yang cukup tajam terhadap dominasi teosentrisme yang mangasingkan manusia dari esensinya –alienasi. Dengan kata lain, tema besar yang coba diusung oleh para algojo berdarah sekuler macam Feurbach, Freud, dan Nietzsche merupakan pemberontakan demi menggeser pemusatan segala urusan ke Tuhan menuju pemusatan ke manusia. Teosentrisme selanjutnya disapu bersih dari lantai percaturan anak manusia untuk kemudian digantikan dengan antroposentrisme.
Di sini, anak manusia dipandang dan diperlakukan sebagai makhluk yang otonom, bebas, rasional, dan bernilai pada dirinya yang tanpa adanya intervensi Tuhan ia mampu mengatasi segala tetek bengek urusan keduniaan. Oleh beberapa filosof, keberadaan Tuhan diklaim telah mendehumanisasi manusia karena telah membunuh tumbuh-kembangnya potensi manusia secara leluasa. Karena itu, manusia yang masih berlindung ‘di bawah ketiak’ argumen-argumen teologis dan tak mau untuk memformulasikan argumennya sendiri tentang segala sesuatu adalah ‘balita yang masih perlu didewasakan.’
Tak heran kalau kemudian tokoh sekaliber Feurbach sampai pada titik kesimpulan bahwa teologi adalah antropologi. Bahwa ketika manusia membicarakan tentang realitas ketuhanan, sejatinya ia sedang membincang tentang dirinya sendiri. Tak ada perbedaan antara kualitas-kualitas Tuhan dan hakikat manusia. Kesadaran manusia tentang Tuhan, dengan segala sifat yang dimilikiNya, sebenarnya adalah kesadaran tentang dirinya sendiri.
Namun demikian, ironisnya, semua itu kemudian dirusak oleh pemahaman (atau lebih tepatnya agama) yang hadir dengan memisahkan antara Tuhan dan manusia dengan menarik garis demarkasi antara keduanya: Tuhan tak terbatas-manusia terbatas, Tuhan suci-manusia berdosa, Tuhan kuat-manusia lemah, dan seterusnya dan seterusnya. Inilah awal dari keterbelakangan anak manusia yang memandang hakikatnya seolah berada di luar dirinya. Manusia memandang hakikat dirinya sebagai wujud yang berbeda. Dan karena itu, pada titik ini, paham yang demikian telah mengasingkan manusia dari kemanusiaannya. Tak hanya itu, paham ini juga telah mendeprisiasi manusia dan melemparkan hakikatnya ke luar untuk disembah dan dikontemplasikan.
Keterasingan seperti yang telah aku kemukakan di atas baru bisa tercerabut dari akarnya kalau anak manusia menyadari bahwa Tuhan yang selama ini disembah dan dikontemplasikan sebagai kenyataan eksternal, sejatinya adalah hakikatnya sendiri. Bukan yang lain. Sehingga sampai pada titik ini manusia yang semula tak bergeming di bawah argumen-argumen teologis dan menolak untuk merumuskan argumennya sendiri, kembali menemukan dirinya yang otonom, bebas, rasional dan bernilai pada dirinya serta mampu mengatasi segala macam urusan keduniaan tanpa adanya campur tangan Tuhan. Semoga Tuhan beristirahat dalam kedamain abadi! Semoga.
Rongkang_Sakélan, 11 Januari 2008
0 komentar:
Posting Komentar