Akademisi dan Politisi
Oleh : M. Aliyulloh Hadi
Dalam banyak hal terdapat perbedaan yang prinsipil antara kedua profesi tersebut. Secara Umum, Akademisi dapat didefinisikan sebagai orang yang mencurahkan waktu, pikiran dan hidupnya untuk mencari kebenaran berdasarkan kerangka metodologis tertentu, sedangkan politisi adalah orang yang memiliki orientasi untuk mendapatkan sekaligus mempertahankan kekuasaannya.
Dalam hal komunitas, Akademisi biasanya hidup di dalam lingkungan akademis, baik itu perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga keilmuan tertentu, sedangkan Politisi biasanya berkumpul dalam komunitas lembaga-lembaga politik misalnya, DPR, Pemerintahan, partai politik maupun lembaga-lembaga yang menjadi underbow paratai politik tertentu. Namun dalam konteks tertentu, Akademisi dan Politisi tidak dibatasi oleh komunitas yang lazim menjadi tempat aktualisasinya. Bisa jadi seorang tokoh ormas maupun organisasi kepemudaan dapat dikatakan sebagai "potensial" menjadi politisi, dan bisa jadi seorang akademisi tidak bergabubg dalam komunitas-komunitas akademik.
Dalam hal sikap dan prilaku sosial, kedua profesi tersebut juga memiliki perbedaan yang kontradiktif. Akademisi biasanya berusaha untuk selalu bersikap jujur dan objektif, sedangkan politisi biasanya selalu berusaha untuk berkelit, subjektif dan seringkali harus berbohong baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini disebabkan watak dasar dari kedua profesi tersebut. Akademisi harus selalu bersikap jujur dan objektif agar pengetahuan yang ia bangun menjadi sistematis, objektif dan dapat diverifikasi dan dipertanggungjawabkan kebenarannya baik secara rasional maupun secara empiris. Sedang politisi memiliki watak dasar untuk selalu berbohong karena yang terpenting dalam politik adalah bagaimana mendapatkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, bagaimanapun caranya, yang penting tujuan kukuasaan itu dapat tercapai.
Dalam konteks politik, statement Lord Acton, Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely, yang dibuat pada abad ke-19 memiliki pengaruh yang kuat hingga saat ini. Dalam banyak kesempatan, berdasarkan teori politik klasik, Lemabaga-lembaga politik selalu melakukan kontrol antar lembaga tertentu. Montesquieu, misalnya, dalam the Spirit of Laws menggagas doktrin trias politika yang kemudian menjadi pilar penting negara demokrasi modern. Doktrin ini kemudian memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lahirlah negara republik-demokrasi dimana kekuasaan eksekutif diserahkan kepada presiden atau perdana menteri. Legislatif yang memiliki kekuasaan untuk membuat hukum diserahkan kepada parlemen , sementara yudikatif diserahkan kepada lembaga pengadilan.
Namun dalam perkembangan politik terakhir, institusi kontrol kekuasaan bukan hanya menjadi otoritas lembaga-lembaga pemerintah sebagaimana teori montesquieu, melainkan juga meluas ke luar ranah institusi-formal negara. Hal tersebut karena lembaga kontrol formal seringkali hanya menjadi pengetok palu kebijakan ekskutif (terjadi pada rezim Soeharto). Sehingga kontrol terhadap pemeriantah juga dilakukan oleh media dan para aktivis masyarakat, termasuk di dalamnya para akademisi, baik yang berada dalam kampus, maupun yang aktif dalam lembaga-lembaga keilmuan non-kampus.
Kita tentu mengenal bagaimana orang-orang semacam Ray Rangkuti, Adi Masardi, Budiman Sujatmiko, Indra J Piliang, Bima Arya dan banyak pengamat politik lain, seringkali dengan galaknya melakukan kritik terbuka terhadap pemerintah. Mereka yang secara khusus disebutkan namanya tersebut, merupakan orang-orang yang berangkat dari kampus dan lembaga keilmuan non-kampus (akademisi), yang kemudian menjadi institusi kontrol non-parlemen yang cukup efektif dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Namun demikian, ternyata bergabung dengan lembaga politik, bagi beberapa pengamat dan aktivis kampus, semacam Budiman Sudjatmiko, Indra J Piliang dan Bima Arya mungkin menjadi pilihan yang harus diambil. Kita tidak tahu apa alasan sesungguhnya yang membuat mereka masuk ke dalam institusi yang dulu mereka hujat. Namun yang pasti, Kukuasan adalah entitas sosial yang menggiurkan dan akan membuat ngiler bagi mereka yang tergoda. Otoritas, Fasilitas dan Popularitas adalah sesuatu yang menjadi rebutan banyak orang.
Fenomena konversi profesi tersebut, akhir-akhir ini marak terjadi di tanah air. Kita banyak mengenal para aktivis mahasiswa, aktivis Ormas, LSM dan Lembaga Non Pemerintah lain, berbondong-bondong "pensiun" sebagai kekuatan civil society dan perlahan tapi pasti, masuk ke dalam duniai politik praktis yang memiliki banyak kontradiksi dan paradok yang sangat prinsipil dengan dunia dan ideologi yang mereka anut sebelumnya, baik sebagai seorang aktivis maupun sebagai seorang akademisi.
Namun, kita tidak perlu terlalu buruk sangka dulu kepada kawan-kawan kita yang mulai menjelajah dunianya yang baru, rimba raya politik praktis. Kita tunggu saja apa yang dapat mereka lakukan di dalam gedung-gedung megah istana para penguasa itu. Apakah mereka bisa bertahan dengan tradisi dan sikap jujur dan objektif yang mereka bawa, atau mereka malah KO satu ronde dan terjatuh dengan telak dan Akhirnya, sama seperti yang lain, menjadi Politisi busuk yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya sendiri. Wallohua'lam...
0 komentar:
Posting Komentar