Pendidikan Moral Dalam Pembentukan Individu Baru

9 Jul 2009
Oleh: Triyo Supriyatno

Pendidikan moral
adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good people) (Nord and Haynes, 2002). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab (informed and responsible judgement) atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.

Moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan (cultivation) yang menekankan pada mana benar dan salah secara absolut. Hal yang diajarkan kepada siswa didik adalah mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman dan sanksi secara langsung maupun tak langsung manakala terjadi pelanggaran. Begitulah apa yang telah dilakukan oleh agama manapun dalam membentuk karakter umatnya, yaitu dengan janji pemberian hadiah atau pahala jika berbuat kebaikan dan pemberian siksa dan dosa jika berbuat kejahatan.

Dalam pendidikan moral secara konvensional maka untuk membentuk moral yang baik dari seseorang diperlukan latihan dan praktek yang terus menerus dari individu seperti dikatakan oleh Jon Moline dalam Lickona (1992):

“As Aristotle taught, people do not naturally or spontaneously grow up to be morally excellent or practically wise. They become so, if at all, only as the result of a lifelong personal and community effort”.

Disamping itu kepercayaan bahwa kekuatan supranatural akan menolong dan melakukan pengawasan merupakan inti dari pendidikan moral tradisional. Sehingga manusia tidak hanya menjadi baik moralnya jika ada kehadiran guru atau atasan, tetapi manusia menjadi baik moralnya secara konsisten meskipun tanpa kehadiran pengawas atau orang lain di sekitarnya. Pada prinsipnya 'you are what you are when nobody's arround'. Esensi perbuatan yang tanpa pamrih (Ikhlas dalam Islam) ini menjadi ruh bagi tingginya derajat moral baik seseorang.
Untuk mencapai masyarakat yang harmoni, teratur, tertib dan aman, sebagai suatu masyarakat yang diidam-idamkan setiap bangsa bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun demikian sejak jaman sebelum masehi para filosof dan pemikir telah membuat suatu tanda dan prasyarat tentang bagaimana suatu bangsa selayaknya diatur oleh negara guna mencapai masyarakat dan bangsa yang kuat, secara fisik dan moralnya demi mencapai kesejahteraan bangsa.

Dikutip dari Brooks dan Goble (1997), Confucius, seorang filsuf Cina pada abad ke lima sebelum masehi menyatakan bahwa manusia mempunyai moral alamiah, tetapi walapun dia diberi secukupnya, secara hangat direngkuh, dan secara nyaman dipenuhi, tanpa dibarengi oleh instruksi, maka manusia akan berubah menjadi binatang (“beast”). Bahkan pada abad ke 27 sebelum masehi, seorang filsuf Mesir, Ptah hotep, menulis bahwa yang paling berharga bagi seorang manusia adalah kebajikan dari anak laki-lakinya, dan karakter baik yang paling dikenang. Dwight D. Eisenhower presiden Amerika Serikat menyebutkan pula bahwa tanpa moral dan spiritual, tidak akan ada harapan bagi bangsa Amerika:

“without a moral and spiritual awekening there is no hope for us”

Oleh sebab itu pendidikan moral kepada manusia merupakan prasayarat (pre-requisite) bagi terciptanya masyarakat madani. Sejalan dengan itu adalah apa yang tertulis dalam “Nortwest Ordinance enacted in 1787 yang menyatakan bahwa:

“religion, morality, and knowledge being necessary to good government and the happines of mankind, schools and the means of education shall forever be encouraged”

Rabu, 15 Rajab 1430 H / 8 Juli 2009 M

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Bagus denga data yang falid. Apalagi bisa di implementasikan dalam realita.

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang