UIN Maulana Malik Ibrahim (dulu UIN Malang) dan Harapan Baru kebangkitan Islam

28 Jan 2009
Oleh:Mukhlis Fahruddin

Kemarin UIN Malang recara resmi berubah nama menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim (27/01/09), nama itu diberikan oleh Presiden RI, tentunya sebuah harapan baru muncul dari semangat baru ini. Perubahan nama tentunya menuntut juga perubahan yang lain, terutama semangat untuk maju dan berkarya, dan mampu menjadikan UIN sebagai garda paling depan dalam perkembangan keilmuan dan pusat peradaban Islam. Kedepan UIN Malik Ibrahim punya tanggung jawab yang besar dalam membantu memecahkan problem yang dihadapi bangsa ini, dan umat secara keseluruhan.

Teladan dari sang Pembaharu Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarqandy diperkirakan lahir di Samarqand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Beliau wafat tahun 882 H. 419 M. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim kadang disebut Syeikh Magribi. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarqand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Menikah dengan putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Bukan hanya sekedar nama yang berubah tetapi semangat mahasiswa juga harus berubah dengan meneladani sifat dan semangat dari sang tokoh, yaitu semangat untuk melakukan perubahan, tradisi dan paradigma lama harus ditinggalkan. Syeh Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh wali yang dianggap sebagai pioner atau ayah dari para Wali Sangga.


Studi Islam di UIN: Pendekatan Integratif
Masalah masa depan Studi Islam di Indonesia menjadi penting untuk dibahas. Adanya rancang bangun Studi Islam yang mulai saling menyapa antara keilmuan Islam dan keilmuan umum sudah tidak dapat dihindarkan. Sehingga memantapkan metode dalan Studi Keislaman agar di kemudian hari tidak ada masalah dalam hubungan antara Studi Islam dan keilmuan umum harus dilakukan.

Pengembangan dan konversi IAIN, ke STAIN, lalu ke UIN Malang dan sekarang ke UIN Malik Ibrahim adalah proyek keilmuan. Proyek ini selain usaha membenahi lingkungan fisik, juga usaha membenahi dan mengintegrasikan sehingga ada dialog dan kerja sama antara disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat. Karena bukan waktunya lagi bila Studi Islam menyendiri dengan metodologi yang cenderung kaku dan bersifat tidak mau berubah. Begitu juga dengan keilmuan umum tidak lagi hanya terpaku dan menyendiri dari kancah disiplin ilmu agama.

Tugas keilmuan umum khususnya keilmuan sosial ( sosiologi, antropologi, sejarah) terhadap masalah keagamaan adalah mengkaji fenomena keagamaan, baik mempelajari perilaku manusia dalam kehidupannya beragama, juga fenomena keagamaan itu sendiri. Secara mudah disebutkan “ Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya perlaku itu, sosiologi mengamatinya dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu dan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu. (Mattulada:1989).

Lalu bagaimana bentuk hubungan antara Keilmuan Islam dan keilmuan umum selanjutnya. Apakah keduanya akan saling mengalahkan? Dalam hal ini bisa dijelaskan bahwa dalam memahami bagaimana proses dialog antara Studi Islam dan keilmuan umum dapat dilihat dengan tiga corak pendekatan di dalam hubungan antara keduanya. Pertama corak paralel, di mana masing-masing corak epistemologi Studi Islam dan keilmuan umum akan berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara yang satu dengan yang lain.

Corak kedua adalah bersifat linear, di mana salah satu dari keduanya akan menjadi primadona, sehingga kemungkinan akan berat sebelah antara keduanya. Dalam hal ini kemungkinan terjadinya dialog yang intensif antara kedua keilmuan menjadi sulit terjadi. Ketiga adalah corak sirkular, di mana masing-masing corak epistemologi keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya sendiri.

Lulusan UIN Malik Ibrahim diharapkan mampu hadir secara fungsional menjawab dan memecahkan problem-problem keummatan, bukan menjadi trouble maker-nya. Problem keummatan begitu banyak, sangat komplek, saking kompleknya dalam menjawab tantangn dan problem tidak cukup dengan satu dimensi keilmuan saja, oleh karena itu sarjana UIN Maulana Malik Ibrahim diharapkan mampu berpikir bijak dengan mengambil dari berbagai sudut keilmuan, sehingga bisa mengambil keputusan atau tindakan secara bijaksana. Misalnya problem fatwa haram tentang rokok dan lain sebagainya.

Tradisi akademik UIN Maulana Malik Ibrahim dan kepribadian Ulul Albab

Selain keteladanan dari sang Wali (Malik Ibrahim) UIN yang dulunya UIN Malang ini sudah mengembang kepribadian Ulul albab bagi mahasiswanya. Istilah Ulul Albab (أُولُو الْأَلْبَابِ) dapat ditemukan dalam teks al-Qur’an sebanyak 16 kali di beberapa tempat dan topik yang berbeda, yaitu dalam QS. Al-Baqarah; 179, 197, 269; Qs. Ali Imran: 7, 190; al-Maidah: 100; Yusuf: 111, al-Ra’d: 19, Ibrahim: 52; Shad: 29, 43; al-Zumar: 9, 18,21; al-Mu’min: 54, dan al-Thalaq:10.

Berdasarkan atas ayat-ayat tersebut di atas, para intelektual muslim Indonesia memahami, memberikan definisi dan karakteristik أُولُو الْأَلْبَابِ secara berbeda-beda. Quraish Shihab(2000:16). menyatakan bahwa jika ditinjau secara etimologis, kata albab adalah bentuk plural dari kata lubb, yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang disebut lubb. Berdasarkan definisi etimologi ini, dapat diambil pengertian terminologi bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Agak sedikit berbeda, AM Saefuddin (1987) menyatakan bahwa ulul albab adalah intelektual muslim atau pemikir yang memiliki ketajaman analisis atas fenomena dan proses alamiah, dan menjadikan kemampuan tersebut untuk membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.

Dengan bahasa yang lebih rinci lagi, Jalaluddin Rahmat(1986) mengemukakan lima karakteristik ulul albab, yakni: (1) Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah (QS. Ali Imran: 190); (2) Memiliki kemampuan memisahkan sesuatu dari kebaikan dan keburukan, sekaligus mengarahkan kemampuannya untuk memilih dan mengikuti kebaikan tersebut (QS. Al-Maidah: 3); (3) Bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang lain, memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang dikemukakan orang lain (QS. Al-Zumar: 18); (4) Memiliki kesediaan untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain, memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat serta terpanggil hatinya untuk menjadi pelopor terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat (QS. Ibrahim: 2 dan al-Ra’d: 19-22); (5) Merasa takut hanya kepada Allah (QS. Al-Baqarah: 197 dan al-Thalaq: 10).
Karakteristik ulul albab yang dikemukakan oleh Jalaluddin di atas, item 1-3 dan 5 terkait dengan kemampuan berfikir dan berdzikir, dan item keempat terkait dengan kemampuan berkarya positif dan kemanfaatannya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, insan Ulul Albab adalah komunitas yang memiliki keunggulan tertentu dan berpengaruh besar pada transformasi sosial. Kualitas dimaksud adalah terkait dengan kedalaman spiritualitas (dzikr), ketajaman analisis (fikr) dan pengaruhnya yang besar bagi kehidupan (amal shaleh). Tegasnya, kualitas ulul albab adalah kualitas yang komprehensif atau dalam bahasa Dawam Rahardjo sebagai orang atau sejumlah orang yang memiliki kualitas yang berlapis-lapis.

Tiga elemen ulul albab, yakni dzikr, fikr dan amal shaleh bukanlah kualitas yang satu sama lain saling berdiri sendiri. Di sini terdapat dialektika yang menyatakan bahwa aspek dzikir juga mencakup fikir. Artinya bahwa kegiatan berdzikir juga melibatkan fikir, namun memiliki tingkatan lebih tinggi, karena pemikiran tersebut mengarah kepada upaya maksimal mencapai kebenaran hakiki yang bersifat transendental. Dengan kata lain, dzikir sesungguhnya juga aktivitas berfikir namun disertai dengan upaya sungguh-sungguh untuk mencapai hakikat sesuatu, yang mengarah kepada pengakuan atas keagungan Maha Karya Tuhan sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran: 190. Realitas empiris yang harus diamati dan dipelajari, yakni pergantian siang dan malam dalam ayat tersebut, merupakan salah satu piranti kuat bagi seseorang yang memperhatikan kekuasaan Tuhan, untuk mencapai kesimpulan bahwa semua itu terjadi atas kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian, aktivitas dzikir yang mengikutkan fikir merupakan kekuatan yang mengantarkan seseorang memperoleh derajat ulul albab.

Berdasarkan pemahaman terhadap ayat di atas, dapat dinyatakan bahwa kesombongan dan keangkuhan karena prestasi yang didapatkan seseorang dalam mengembangkan keilmuan, jauh dari kualitas ulul albab. Pengakuan akan kekuasaan Tuhan merupakan pernyataan yang selalu dikumandangkan oleh seseorang yang berkualitas ulul albab.
Keragaman definisi di atas, dapat dirangkum pengertian dan cakupan makna ulul albab dalam tiga pilar, yakni: dzikir, fikir dan amal shaleh. Secara lebih detail, ulul albab adalah kemampuan seseorang dalam merenungkan secara mendalam fenomena alam dan sosial, yang hal itu mendorongnya mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan berbasis pada kepasrahan secara total terhadap kebesaran Allah, untuk dijadikan sebagai penopang dalam berkarya positif.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakteristik dan ciri-ciri ulul albab adalah memiliki kualitas berupa kekuatan dzikir, fikir dan amal shaleh. Atau dalam bahasa lain, masyarakat yang mempunyai status ulul alab adalah mereka yang memenuhi indikator Berikut; (1) Memiliki ketajaman analisis; (2) Memliki kepekaan spiritual; (4) Optimisme dalam menghadapi hidup; (5) Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani; individual-sosial dan keseimbangan dunia-akhirat; (6) Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan; (7) Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial; (8) Memiliki kemandirian dan tanggung jawab; dan (9) Berkepribadian kokoh.

Kalau dapat disimpulkan dalam satu rumus, maka ulul-albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah Swt. Sebetulnya Islam mengharapkan bahwa dari setiap jenjang pendidikan lahir ulul-albab, bukan sekadar sarjana yang tidak begitu banyak gunanya, kecuali untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam mengharapkan dari jenjang-jenjang pendidikan lahir ilmuwan yang intelektual dan yang sekaligus ulul-albab.


Penutup

Berdirinya IAIN pada awal mulanya merupakan usaha di dalam mengembangkan keilmuan Islam untuk membentuk ulama yang intelek atau intelek yang ulama. Usaha ini merupakan bentuk dari ijtihat para pemimpin bangsa ini di dalam melihat perkembangan sarjana-sarjana Islam di dalam berhadapan dengan sarjana-sarjana lulusan universitas “sekuler”. Dalam perkembangannya, IAIN mampu mewarnai kehidupan bangsa ini dengan sumbangan pemikiran para alumninya. Namun tidak hanya berbangga dengan itu, dalam kurun yang sama Studi Islam (Islamic Studies) perlu berdialog dengan keilmuan manapun. Adanya dikotomi antara keilmuan umum dan keilmuan agama menjadikan IAIN bergerak kurang bebas di dalam mengembangkan keilmuannya. Begitu juga dengan kecenderungan saat ini di mana Studi Islam mengalami krisis relevansi ketika berhadapan dengan kehidupan modern. Usaha menjadikan IAIN menjadi UIN, khususnya di UIN Malik Ibrahim Malang merupakan proyek keilmuan yang patut mendapat apresiasi. Pengintegrasian antara keilmuan Agama, Sosial dan Sains diharapkan dapat tercipta dalam tradisi akademik mendatang dengan semangat berubahnya nama ini. Amin

0 komentar:

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang