28 Des 2008
Oleh: MA. Busthonul Arief eL-Fahm
Setiap bulan Agustus, di sekitar kita selalu semarak dengan perayaan kemerdekaan, mulai dari umbul-umbul yang terpasang di sana-sini, bendera merah putih bertebaran dimana-mana sampai bermacam perlombaan dari anak-anak sampai ibu-ibu rumah tangga, hal tersebut tidak lebih hanya untuk memperingati HUT Republik Indonesia. Namun yang menjadi pertanyaan mendasar bagi kita semua sebagai manusia yang sadar dengan relitas sosial rakyat Indonesia, yang sebagian besar masih hidup dalam taraf kemiskinan dan kebodohan, Benarkah Indonesia Sudah Merdeka?
Ratusan tahun bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing dan pada akhirnya rakyat mampu meraih sebuah kemerdekaan dari kolonialisme penjajah. Kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah anugerah atau bonus dari bangsa lain, melainkan merupakan hasil perjuangan hingga titik darah penghabisan. Lepas dari penjajahan bukanlah tujuan akhir dari cita-cita kemerdekaan, melainkan sekadar medium dan gerbang untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya, yakni kemerdekaan pikiran, hati, dan jiwa tiap orang. Kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing, oleh karenanya, harus segera disusul oleh kebebasan yang penuh tanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan.
Atas nama kemerdekaan, terhampar di hadapan kita suatu ironi kehidupan yang kian jauh dari makna kemerdekaan itu sendiri. Faktanya, kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia ada di ranking 112 dunia, masih di bawah Vietnam, Singapura, Malaysia dan negara-negara tetangga “ASEAN” kita lainnya. Akibatnya, negara Indonesia dengan kandungan sumber daya alamnya (SDA) yang melimpah ternyata lebih banyak dieksploitasi oleh Negara-negara kapitalis dan para koruptor negara kita sendiri, dari pada dinikmati oleh yang berhak yakni seluruh lapisan masyarakat kita. Sehingga dalam realitasnya hal ini sangat mudah untuk kemudian memiskinkan rakyat kita, yang dengan pendapatan rata-rata per kapita ternyata masih di bawah 1.000 dolas AS per tahun.
Pendidikan Sebagai Barometer Kemerdekaan
Pendidikan. Sebuah kata yang merupakan penjelasan atas sebuah cita-cita dasar perintis kemerdekaan negeri ini, sehingga pada akhirnya akan membentuk sebuah peradaban baru yang lebih baik dan beradab setelah zaman kolonial, seperti hanya sebuah impian yang tak kunjung datang. Padahal dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) ’45 sudah sangat jelas tercantumkan bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa-lah negeri ini menyatakan kemerdekaannya .
Titik pangkal pendidikan yang memerdekakan adalah pembiasaan untuk memiliki hati dan kepekaan terhadap apa yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat sekitar, meminjam istilah Paulo Freire kesadaran transitif kritis terhadap realitas sosial. Hanya dengan cara demikianlah jiwa yang merdeka ikut serta mengalami dan merasakan penderitaan masyarakat sehingga mampu menangkap pesan dan amanat penderitaan rakyat. Jiwa yang merdeka akan selalu menyimak sejarah para pahlawannya sambil sekaligus bergulat dengan permasalahan lingkungan yang sedang dihadapi.
Mengutip terminologi Erich Fromm, free from harus pula diikuti dengan free to. Di alam kemerdekaan yang dicita-citakan, setiap anak bangsa selayaknya mendapatkan ruang untuk mengekspresikan dan merealisasikan dirinya demi pembangunan dan kesejahteraan bersama sesuai dengan tuntutan zaman. Prasyarat untuk itu adalah jaminan perlindungan hak-hak dasar tiap warga, kondisi tertib hukum dan keadilan yang betul-betul diimplementasikan dalam kehidupan bersama. Dewasa ini cita-cita kemerdekaan seperti itu semakin tampak terbelenggu oleh sederetan bencana alam dan penyakit, kemiskinan dan kelaparan, kelangkaan energi BBM dan melonjaknya jumlah pengangguran, tiadanya pemerataan kesejahteraan dan merebaknya kembali pola pikir kedaerahan (Re-Primordialisme). Padahal, kondisi negatif seperti itulah yang dulu pernah menenggelamkan bangsa selama tiga abad lebih tak mampu lepas dari cengkeraman penjajahan kolonial. Melihat dunia pendidikan kita ternyata juga belum mampu memerdekakan anak didik karena ilmu pengetahuan yang diajarkan tidak dapat membebaskan dirinya menjadi manusia mandiri secara sosial dan ekonomi, sebaliknya terperangkap pada feodalisme baru dengan mengejar gelar tanpa isi keilmuan aktual. Akibatnya, kian banyak pengangguran kaum terpelajar, dan rakyat mulai frustrasi menghadapi dunia pendidikan yang cenderung makin elitis, feodalistik, mahal, tak terjangkau kantong rakyat, dan tidak terkait realitas perubahan kehidupan mereka yang semakin baik. Konsep keilmuan yang diajarkan belum juga dapat memerdekakan anak didik, dengan memacu kemampuan kreativitasnya untuk menghadapi tantangan kehidupan di sekitarnya secara cerdas karena anak didik tidak diajarkan secara benar untuk mengetahui dan memahami realitas kehidupan sendiri. Hal ini disebabkan kehidupan mereka sebenarnya telah terjauhkan dari pemahaman terhadap realitas secara benar dan aktual, seperti pengajaran ilmu tentang ekonomi tetapi dengan menggunakan setting realitas yang tidak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari karena ilmu ekonomi dirumuskan oleh orang dengan realitas berbeda dengan kehidupan sendiri. Ilmu ekonomi Barat yang kapitalistik tentu jauh dari realitas kehidupan ekonomi bangsa kita yang berbasis usaha mikro, kecil, dan menengah yang ada di pedesaan.
Post Wacana
“Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran”. Demikian penegasan James Thurber, untuk mengakhiri tulisan singkat ini. Masa lalu tidak untuk disesali, tetapi untuk dijadikan bahan pelajaran (lesson learned) untuk menatap dan menghadapi masa depan dengan penuh keberanian. Apakah kebijakan pendidikan kita dewasa ini telah dirumuskan dengan arah dan tujuan yang jelas? Kita harus dapat menilainya secara jernih, kemudian menyempurnakan jika memang dirasa ada kekurangan dan kelemahannya. Pertanyaan tentang apakah masalah pendidikan kita sebagian disebabkan oleh mekanisme kelahiran kebijakan yang tidak on the right track. Kalau memang benar adanya, mari singsingkan lengan baju kita untuk benahi bersama! Pembodohan akan terus berlangsung, bilamana penghuni negeri ini masih belum tersadarkan bahwa saat ini Indonesia sedang berada dalam bayang-bayang dan belenggu penjajahan yang terus menerus secara laten, jika jalan menuju kecerdasan di negeri ini masih selalu diberi satir. Kecerdasan adalah sebuah jalan menuju kemerdekaan sejati bagi negeri ini. Pendidikan adalah jalan menuju pembebasan.dan kemerdekaan. Merdeka…!
Kategori
- Aneka (1)
- Artikel (39)
- Bahasa dan Sastra (1)
- Berita (22)
- Download (2)
- Filsafat (4)
- Galery (3)
- HMI (4)
- Info (7)
- Internasional (10)
- Islam (21)
- Islam Indonesia (2)
- Jatim (4)
- Kata Sang Tokoh (1)
- Kehidupan (5)
- Malang (1)
- Nasihat (1)
- Nasional (6)
- Opini (12)
- Pendidikan (21)
- Politik (11)
- Potik (2)
- Renungan (4)
- Sains dan Teknologi (6)
- Tasawuf (2)
- Tentang Kahmi (8)
- UIN MMI (7)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar