Siapa yang berhak mengkafirkan?, mengatakan bahwa aliran ini sesat dan aliran itu yang paling benar?. Apakah kita berhak untuk menghakiminya? Kelompok mana yang mempunyai otoritas kebenaran penafsiran? Atau bagaimana sikap kita menghadapi beragamnya pemahaman dan ditengah agama-agama lain. Beberapa kasus yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah, al-Qur'an Suci, al-Qiyadah dan lain sebagainya yang belum ter-ekspos.
Tidak ada yang salah dari ajaran agamanya, dan agama tidak akan menjadi sumber konflik horisontal. Konflik terjadi karena problem penafsiran yang cenderung rawan konflik, sikap yang saling menyalahkan, mengkafirkan dan tidak mengizinkan adanya perbedaan penafsiran. Ini adalah kenyakinan dan kepercayaan, mungkinkah itu kita paksakan kepada kelompok lain?.
Sikap yang harus dibangun adalah menghargai pemahaman orang lain, atau dengan sebutan lain adalah sikap ‘pluralisme’ tetapi gagasan ‘pluralisme’ juga menjadi sumber konflik karena masih ada pro dan kontra terhadap sikap ini. bagaimana sebenarnya sikap pluralisme dalam pandangan Islam?
Pengertian Pluralisme Agama
Pluralisme adalah paham religius artifisial, yang berkembang di
Ada dua istilah yang sering kita dengar pada tema ini, yaitu; ‘pluralitas’ dan ‘pluralisme’. Secara etimologis kedua kata tersebut sama-sama memiliki kata dasar ‘plural’ dan masing-masing merupakan terjemahan dari dua kata dalam bahasa inggris, ‘plurality’ dan ‘pluralism’. Kata ‘plurality (pluralitas), dalam kamus, berarti “ kondisi majemuk atau berbilang”. Adapun kata ‘pluralism’ (pluralisme) memiliki dua arti, yaitu:
a) Keberadaan kelompok-kelompok yang berbeda dari segi asal, etnis, pola budaya, agama, dan lain-lain dalam suatu negara atau masyarakat;
b) Kebijakan yang mendukung perlindungan terhadap kelompok-kelompok tersebut dalam negara atau masyarakat.[2]
Dari tinjauan etimologi tersebut, arti kata pluralitas sama dengan pluralisme dalam arti pertama, yaitu sama-sama merujuk kepada realitas kemajemukan; sedangkan arti kedua dari kata pluralisme merujuk kepada sikap memihak atau mendukung realitas tersebut. Ketika dihubungkan dengan kata agama, maka kedua kata tersebut membentuk konsep yang masing-masing memiliki aksentuasi dan referensi makna yang berbeda. Konsep ‘pluralitas agama’ menekankan dan merujuk kepada realitas adanya keragaman agama dan hubungan antara (pemeluk) agama itu dalam realitas; sedangkan ‘pluralisme agama’ menekankan dan merujuk kepada sikap dan pandangan tertentu yang mendukung realitas keragaman agama itu. Konsep pluralisme agama, secara filosofis, merujuk kepada suatu teori tertentu tentang hubungan antar tradisi-tradisi yang berbeda, dengan klaim-klaim mereka yang berbeda dan bersaing.
Singkatnya konsep pluralitas agama merujuk kepada adanya realitas keragaman agama, dan juga adanya hubungan antaragama yang beragam itu. Sedangkan konsep pluralisme agama merujuk kepada sikap atau teori yang positif mendukung realitas keragaman agama dan kesaling-hubungannya.
Pluralisme dalam Islam
Pada dasarnya, pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama saja. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka bisa saling belajar, bergaul, dan membantu antara satu dan lainnya (Q.s. 49:13). Pluralisme mengakui perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah realitas yang pasti ada dimana saja. Justru, dengan pluralisme itu akan tergali berbagai komitmen bersama untuk memperjuangkan sesuatu yang melampaui kepentingan kelompok dan agamanya. Kepentingan itu antara lain adalah perjuangan keadilan, kemanusiaan, pengentasan kemiskinan, dan kemajuan pendidikan. pluralisme adalah sistem nilai yang memandang eksistensi kemajemukan secara positif dan optimis, dan menerimanya sebagai kenyataan dan sangat dihargai.[3]
Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik di antara mereka. [4] Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius. Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Realitas pluralitas yang bisa mendorong ke arah kerja sama dan keterbukaan itu, secara jelas telah diserukan oleh Allah Swt dalam QS. Al-Hujurat:14. Dalam ayat itu, tercermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 213 juga disebutkan: “Manusia itu adalah satu umat. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan beserta mereka diturunkan Kitab-kitab, supaya manusia bisa memberi keputusan antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan”. Dalam ayat itu muncul tiga fakta: kesatuan umat dibawah satu Tuhan; kekhususan agama-agama yang dibawa oleh para nabi; dan peranan wahyu (Kitab suci) dalam mendamaikan perbedaan diantara berbagai umat beragama. Ketiganya adalah konsepsi fundamental Al-quran tentang pluralisme agama. Di satu sisi, konsepsi itu tidak mengingkari kekhususan berbagai agama, di sisi lain konsepsi itu juga menekankan kebutuhan untuk mengakui kesatuan manusia dan kebutuhan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik antar umat beragama.
Menurut Abdulaziz Sachedina (2001)[5], argumen utama pluralisme agama dalam Al-Qur’an didasarkan pada hubungan antara keimanan privat (pribadi) dan proyeksi publiknya dalam masyarakat Islam. Berkenaan dengan keimanan privat, Alquran bersikap nonintervensionis (misalnya, segala bentuk otoritas manusia tidak boleh menganggu keyakinan batin individu). Sedangkan dengan proyeksi publik keimanan, sikap Alquran didasarkan pada prinsip koeksistensi. Yaitu kesediaan dari umat dominan untuk memberikan kebebasan bagi umat beragama lain dengan aturan mereka sendiri. Aturan itu bisa berbentuk cara menjalankan urusan mereka dan untuk hidup berdampingan dengan kaum muslimin. Maka, berdasarkan prinsip itu, masyarakat
Pro-kontra Pluralisme Agama
Agama umumnya muncul dalam lingkungan pluralistik dan membentuk eksistensi diri dalam menanggapi pluralisme itu. Bahkan, dikatakan bahwa setiap agama justru lahir dari proses perjumpaan dengan kenyataan pluralitas. Pluralisme adalah fakta sosial yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi agama-agama. Walau demikian, dalam menghadapi dan menanggapi kenyataan adanya berbagai agama yang demikian pluralistik itu, agaknya setiap umat beragama tidaklah monolitik. Mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan. Yaitu kelompok yang menolak gagasan pluralisme agama dan kelompok yang menerima gagasan pluralisme [6]
Pertama, kelompok yang menolak secara mutlak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok eksklusivis. Dalam memandang agama orang lain, kelompok ini sering kali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain. Secara teologis, misalnya, mereka beranggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling otentik berasal dari Tuhan, sementara agama yang lain tak lebih dari sebuah konstruksi manusia, atau mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umatnya sendiri. Mereka memiliki kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agama diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Agama orang lain dipandang bukan sebagai jalan keselamatan paripurna. Mereka mendasarkan pandangan-pandangannya itu pada sejumlah ayat di dalam Alquran. Misalnya, [1] QS Ali Imran (3): 85, [2] QS Ali Imran (3): 19 [3] QS Al-Maidah (5): 3. [4] QS An-Nisa (4): 144.
Firman Allah :
a) “Barang siapa mencari agama selaian agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan terima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran [3]: 85)
b) “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. Ali Imran” [3]: 19)
c) “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6).
d) “Dan tidaklahpatut bagi laki-laki yang Mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Azhab [33:36).
e) “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).
f) “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan”. (QS. al-Qashash [28]: 77).
g) “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta. (terhadap Allah)”. (QS. al-An’am [6]: 116).
h) “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (Q. al-Mu’minun [23]: 71).
Hadis Nabi saw :
a) Imam Muslim (w. 262 H) dalam Kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah saw : Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka. (HR Muslim).
b) Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi Raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Saâd dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam Al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari).
c) Nabi saw melakukan pergaulan social secara baik dengan komunitas-komunitas non-Muslim seperti Komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Aththab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).[7]
Kedua, kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan yang takterhindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik temu yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang dibawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi yang bersifat teknis-operasinal bukan yang substansial-esensial, seperti tentang mekanisme atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi menu favorit di kalangan kelompok kedua ini. Misalnya, [1] QS Al-Kafirun (109):6 [2] QS Al-Baqarah (2): 256. [3] QS Al-Maidah (5): 69, [4] QS Al-An'am (6): 108.
Melihat hal di atas, maka muncul tarik ulur antara satu ayat dengan ayat yang lain. Dalam satu spektrum, pluralisme Quranik diungkapkan melalui janji penyelamatan terhadap orang-orang yang beragama selain agama Islam (QS Al-Baqarah (2):62). Sementara pada spektrum yang lain, absolutisme Islam juga terpampang dengan tegas dalam Al-quran. Kontradiksi nyata antara beberapa ayat Al-quran yang mengakui sumber-sumber penyelamatan otentik lainnya di satu sisi dan ayat-ayat lain yang menyatakan Islam sebagai satu-satunya sumber penyelamatan di sisi yang lain harus diatasi untuk memungkinkan tegaknya sebuah tata kehidupan berdampingan secara damai dengan umat agama lain.
Dalam kenyataannya sayang sekali tidak banyak para ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki perhatian utama untuk coba menyelesaikan ayat-ayat kontradiktif tersebut, baik dengan cara memperbarui penafsiran maupun dengan menyusun sebuah metodologi tafsir yang baru. Hingga sekarang, sekelompok pemikir Islam yang concern pada gagasan pluralisme agama biasanya hanya mengutip satu-dua ayat yang mendukung pluralisme agama dan sering kali melakukan pengabaian bahkan terkesan “lari” dari ayat-ayat yang menghambat jalan pendaratan pluralisme agama. Demikian juga sebaliknya. Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari sudut pluralisme agama, para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang secara literal jelas-jelas mendukung pluralisme agama.
[1] Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Polemik_pluralisme_di_Indonesia
[2] Victoria Neufeldt,1995 dalam Mukhlis, Inklusifisme Tafsir al-Azhar (IAIN Mataram Press, 2004), hlm. 15-16.
[3] Aden Wijdan SZ, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam. (
[4] Ahmad Fuad Fanani, Islam, Pluralisme, dan Kemerdekaan Beragama. Artikel. (www. Islamlib.com, 2007)
[5] dikutib oleh Ahmad Fuad Fanani, Islam Pluralisme….
[6] Abd Moqsith Ghazali, Problematika Quranik Pluralisme Agama; Artikel (Media
[7] www.Syiar Islam.com
1 komentar:
Tulisan ini ditulis oleh orang Islam yang bingung pada ajarannya, atau sengaja membuat bingung orang. Atau karena kebingungannya dia mengajak sama-sama bingung.
Mengapa?, dia tidak tau makna yang terkandung dalam al Quran tentang apa itu agama, apa itu budaya, sosial sehingga menuduh al Quran bingung, maka muncul tarik ulur antara satu ayat dengan ayat yang lain.
Sungguh biadab oreng Islam yang demikian. Na'udzubillah.
Posting Komentar