ALQUR'AN: TEKS KEBUDAYAAN?

26 Feb 2008
Zubairi AB*

Alqur'an merupakan teks kebudayaan sentral dalam masyarakat Islam, yang dijadikan dustur oleh umat Islam dalam setiap pengambilan dan penetapan yurisprudensi (hukum). Diyakini pula, bahwa teks dalam Alqur'an tidak boleh ditambah ataupun (apalagi) dikurangi, sehingga menutup kesmpatan masuknya nalar manusia lebih mendalam untuk menggali makna teks secara kemanusiaan, karena dikhawatirkan akan menghilangkan otentisitasnya. Sakralitas teks Alqur'an oleh umat Islam merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor stagnannya pemikiran dan keilmuwan di dunia Islam. Islam tertutup – sengaja ataupun tidak sengaja- oleh umatnya sendiri, al islam mahjub bi al muslimin, begitu komentar Muhamma Abduh, tokoh pembaharu dari Mesir.
Status Alqur'an sebagai sebuah teks paling sering dipersoalkan dalam discourse pemikiran keislaman kontemporer. Term teks (nash) masih menjadi wacana problematis dikalangan pesantren maupun kaum akademisi, hingga muncul suatu statemen dikalangan umat Islam (ulama) yang kontra – terhadap penyebutan Alqur'an sebagai teks – bahwa penggunaan teks yang dihubungkan dengan Alqur'an hanya sebuah cara kaum orientalis yang ingin menjauhkan umat Islam dari kitab sucinya (Alqur'an).
Nasr Hamid Abu Zaid – lalu disebut Abu Zaid --, seorang profesor bidang bahasa dan sastra Arab di Universitas Kairo Mesir, mengatakan bahwa penyangkalan atas tekstualitas Alqur'an memaksakan ketaatan yang ketat bagi sebuah pemaknaan literal terhadap teks. Dan, hal itu hanya dapat diakses opleh suatu otoritas religius yang mengkalim sebagai pelindung –pengawal Islam.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya Alqur'an merupakan teks yang tercipta (baca; makhluk) dan tidak kekal. Argumentasi logis terhadap tekstualitas Alqur'an yaitu, Alqur'an ketika diwahyukan kepada Muhammad telah memasuki wilayah historisitas manusia yang profan dan menjadi sebuah teks sama seperti teks-teks lain yang membuka ruang reinteprtetasi terhadap hukum keagamaannya. Sehingga, melahirklan dua pemahaman di kalangan umat Islam dalam memposisikan Alqur'an. Pertama, alqura'n diaykini sebagai kalam Allah yang Qadim. Kedua, Alqur'an dipahami sebagai sebuah teks yang bebas dimasuki oleh ruang penafsiran.
Pendapat pertama memposisikan Alqur'an sebagai segala-galanya. Artinya, Alqur'an sebagai kalam yang diletakkan kepada keqadiman Allah, mau tidak memaksa kita untuk menyatakan bahwa Alqur'an juga kekal dan tak tercipta, benarkah? Ada beberapa logika yang perlu kita kembangkan untuk memahami persoalan keqadiman Alqur'an. Logika ini kita kembangkan dengan bersumber pada pemikiran Islam sendiri atau logika agama. Dari aspek penciptaan, kita ketahui bahwa eksistensi ini hanya bisa diklasifikasikan kedalam dua pihak, pihak pertma adalah pencipta (khaliq) dan kedua adalah yang diciptaka (makhluk).
Dua eksistensi tersbut, kita konfrontasikan dalam konteks Alqur'an yang jyga dibagi kedalam dua kutub. Sebagai perncipta, pastilah Allah adanya, karena logika agama tidak memberikan ruang altermnatif lain dalam masalah penciptaan. Karena Allah sebagai sang pencipta, maka Alqur'an – mau tidak mau – adalah makhluk ciptaan Allah. Ini sebagai konsekuensi logis konsep ketauhidan dalam agama Islam bahwa sang pemncipta hanya satu, yaitu Allah saja. Selain itua adalah makhluk yang tercipta dan baharu atau tidak qadim. Memaksa keqadiman Alqur'an berarti juga kita memaksa Alqur'an untuk sama dengan Tuhan (Allah).
Untuk itu, kita perlu memilih alternatif kedua yang memposisikan Alqur'an teks yang tercipta oleh Tuhan (Allah) yang menuntut kejelian dan pemikiran yang sangat mendalam untuk mampu menangkap dan mengungkap pikiran-pikiran Tuhan yang tertuang dalam bentuk simbol-linguistik kemanusiaan (teks) serta maksud yang terkandung di balik teks tersebut. Sehingga menghasilkan ajaran keagamaan (Islam) yang tidak lagi (hanya) bersifat arab oriented, serta spiritnya selalu relevan dengan perkembangan zaman, baik perkembangan bahasa, sosial, budaya dan tradisi dimana dan kapan teks (Alqur'an) itu berada.
Mengutip pendapatnya David Tracy dalam Plurality and Ambiguity: Hermeneutics, Religion, Hope, Farid Essack, intelektual muslim dari Afrika Selatan mengatakan, bahwa setiap penafsir mendatangi teks dengan membawa sejarah kompleks yang kita sebut tradisi. Tak ada kemungkinan untuk lepas dari tradisi, seperti halnya tak ada kemungkinan untuk lepas sejarah dan bahasa.
Dekonstruksi pemahaman terhadap teks – dari ahistoris-transenden menuju historis-humanis – sangat gencar dilakukan oleh para pemikir Islam kontemporer. Abu Zaid dalam Divine Attributes in the Qur'an mengatakan bahwa, firman Tuhan harus dipahami menurut spiritnya, bukan menurut yang tersurat. Konsekuensi finalnya adalah bahwa otoritas-optoritas publik dan atau masyarakat berhak sebagai pelaku peran utama dalam menafsirkan dan mengaplikasikan hukum itu.
Ali, sang menantu Nabi, melontarkan statemen terkait dengan Alqur'an bahwa al qur'an khoththun masthurun bayna daffatayni la yanthuqu innama yatakallam bihi al rijal (Alqur'an hanyalah sebuah tulisan yang ditulis di antara dua lembar kertas, ia tidak bicara. Manusialah yang membuatnya bicara). Teks suatu benda mati yang tak bisa berkembang yang dikonstruk dan terikat oleh sosio-kultur setempat. Butuh suatu interpretasi supaya teks dapat punya nilai dan makna serta m,ampu berdialog engan realitas kemausiaan. Spirit di balik teks harus dibedah dan dimunculkan, untuk itulah tak ada yang sakral dalam teks, yang sakral dan abadi adalah spirit yang dikandungnya. Publik berhak untuk menerjemahkan senyampang masih dalam koridor kebenaran universal dan memihak kepada fitrah kemanusiaan. Hal demikian juga berlaku terhadap Alqur'an atau wahyu, yang telah memasuki dimensi ruang dan waktu.
Alqur'an dipandang seperti halnya teks yang lain. Ia tunduk pada penafsiran sebagai sebuah kitab hukum, suatu karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah, dan sebagainya. Seluruh teks harus tunduk kepada aturan penafsiran yang sama. Distingsi antara yang sakral dan profan tidak terkait dengan hermeneutika umum, namun dengan praktek keagamaan. Begitulah ungkapan guru Besar Filsafat dari Universitas Kairo Mesir, Hassan Hanafi.
Sebuah pendapat yang sangat ekstrim dan berani serta punya resiko yang sangat besar karena telah menentang mainstrem pendapat para ulama konvensional yang mengatakan bahwa teks Alqur'an sangat sakral, bahkan dikultuskan. Walaupun sebenarnya, Hassan Hanafi disatu sisi tetap meyakini orisinalitas wahyu in verbatim yang tertulis sesuai dengan yang diucapkan oleh Nabi tanpa ada pengurangan atau penambahan. Abu Zaid, Essack, dan Hanafi menginginkan tekls didekati berdasarkan kondisi riil sang penafsir (interpreter) sebagai rujukan dan juga pembaca, sehingga Alqur'an bisa memberikan dasar bagi sebuah kesadaran universal.
Klaim tentang teks yang suci dan kekal itu, hanya akan membawa pada syirik, karena ia hendak merancukan pemahaman antara yang tetap dan yang berubah, yang kekal dan fana', yang absolut dan yang relatif.................................antara tujuan Tuhan dan pemahaman manusia. Selamat berpikir!


Referece:

Farid Essack, 2000, Membebaskan Yang Tertindas: al Qur'an, Liberalisme, Pluralisme, (Terj.), Bandung: Mizan
Hassan Hanafi, 1996, Method of Thematic Interptertation of the Qur'an, Leiden: E.J. Brills
Nasr hamid Abu Zaid, 1998, Divine attributes in the Qur'an: Some Poetic Aspect, London: I.B. Touris and Co




Zubairi AB, putera Grujugan Sumenep Madura, yang dipanggil Eri atau Re ini biasa cangkru'an di HMI UIN Malang sembari belajar memahami makna ricik kehidupan di lorong-lorong sunyi yang penuh hingar-bingar ketidakpastian



0 komentar:

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang