Mengembangkan Pemikiran Falsafah Pendidikan Islam (Kajian Aksiologi Islam)*

15 Agu 2007
Dalam mengkaji filsafat, permasalahan yang sering muncul adalah kita hanya membahasnya dari aspek sejarah saja, sehingga kajian filsafat selalu ‘datar-datar aja’, tanpa mengambil substansi dari belajar sejarah filsafat. Filsafat juga tidak dijadikan sebagai pisau analisis dalam membedah problem mendasar manusia, sehingga kontribusi filsafat belum bisa dirasakan.

Dalam tulisan ini ingin mengkaji filsafat tidak hanya dari asek sejarah saja, tetapi mengkaji kontribusi filsafat dalam kerangka pemikiran pendidikan Islam. Topik ini sangat penting untuk dibahas mengingat problem mendasar dalam pendidikan kita adalah ketidaktahuan dan ketidak konsistensikan dalam mengarahkan peserta didik kearah dasar tujuan dari pendidikan Islam tersebut. Sehingga sepertinya kita kehilangan orientasi, dan hal itu mengakibatkan ketidak maksimalan dalam proses pendidikan yang selanjutnya berakibat kepada mutu lulusan.

Definisi filsafat, Filsafat Pendidikan dan filsafat pendidikan Islam
Istilah "filsafat" dapat ditinjau dari dua segi, yakni: Segi semantik: kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Arab 'falsafah', yang berasal dari bahasa Yunani, 'philosophia', yang berarti 'philos' artinya cinta, suka, dan 'sophia' artinya pengetahuan, hikmah. Jadi 'philosophia' berarti cinta kepada kebijaksanaan, kearifan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut 'philosopher', dalam bahasa Arabnya 'failasuf".
Segi praktis: dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti 'alam pikiran' atau 'alam berpikir'. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam, sungguh-sungguh, radikal, sistematis dan rasional Sebuah semboyan mengatakan "setiap manusia adalah filsuf". Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya: Filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Sedangkan filsafat pendidikan, menurut John Dewey adalah teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran umum mengenai pendidikan, falsafah pendidikan pada hakekatnya merupakan jawaban dari pertayaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan dan merupakan penerapan suatu analisa filosofis terhadap pendidikan. John Dewey juga memandang bahwa ada hubungan yang erat antara filsafat dengan pendidikan. Oleh karena itu tugas filsafat dan pendidikan seiring yaitu sama-sama memajukan hidup manusia. Ahli filsafat lebih memperhatikan tugas yang berkaitan dengan strategi pembentukan manusia, sedang ahli pendidikan bertugas untuk lebih memperhatikan pada taktik (cara) agar strategi itu terwujud.
Manambahkan hal itu, Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, melihat falsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan falsafat dan kaidah falsafah dalam pengalaman manusia yang disebut pendidikan. Secara rinci dikemukakan bahwa falsafat pendidikan merupakan usaha untuk mencari konsep-konsep diantara gejala yang bermaacam-macam meliputi: (1) Proses pendidikan sebagai rancangan yang terpadu dan meyeluruh; (2) Menjelaskan berbagai makna yang mendasar tentang segala istilah pendidikan; dan (3) Pokok-pokok yang menjadi dasar dari konsep pendidikan dalam kaitannya dengan bidang kehidupan manusia.
Berbagai ahli mencoba merumuskan pengertian filsafat pendidikan Islam, Muzayyin Arifin, misalnya mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang hakikat kemampuan manusia untuk dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Definisi ini memberi kesan bahwa filsafat pendidikan Islam sama dengan filsafat pendidikan pada umumnya. Dalam arti bahwa filsafat Islam mengkaji tentang berbagai masalah manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru, dan sebagainya.
Perbedaan filsafat pendidikan Islam dengan filsafat pendidikan pada umumnya adalah bahwa di dalam filsafat pendidikan Islam, semua masalah kependidikan tersebut selalu didasarkan pada ajaran Islam yang bersumberkan al-Qur'an dan al-Hadits. Dengan kata lain bahwa kata Islam yang mengiringi kata falsafat pendidikan ini menjadi sifat, yakni sifat dari filsafat pendidikan tersebut. Dalam hubungan ini Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas. Selanjutnya ketika ia mengomentari kata ‘radikal’ yang menjadi salah satu ciri berpikir filsafat mengatakan bahwa pandangan ini keliru. Radikal bukan berarti tanpa batas. Tidak ada di dunia ini disebut tanpa batas, dan bukankah dengan menyatakan bahwa seorang muslim yang telah menyalini isi keimannanya, akan mengetahui dimana batas-batas pikiran (akal) dapat dipergunaan, dan jika ia berfikir, berfilsafat mensyukuri nikmat Allah, berarti ia radikal (konsekuen) dalam batas-batas itu. Menurut Ahmad D Marimba, inilah sifat radikal dari filsafat Islam.

Hakikat dan Tujuan Falsafah Pendidikan Islam
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung kontiniu/berkesinambungan, berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai hayatnya.
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap sampai ke titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar. Secara garis besarnya pengertian itu mencakup tiga aspek, yaitu: (1) Seperangkat teknik atau cara untuk memberikan pengetahuan, keterampilandan tingkah laku. (2) Seperangkat teori yang maksudnya utuk menjelaskan dan membernarkan penggunaan teknik dan cara-cara tersebut. (3) seperangkat nilai, gagasan atau cita-cita sebagai tujuan yang dijelmakan serta dinyatakan dalam pengetahuan, keterampilan dan tingkah laku, termasuk jumlah dan pola latihan yang harus diberikan.
Dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar dan tujuan ajaran Islam atau tepatnya tujuan Islam itu sendiri. Dari kedua sumber ini kemudian timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah keislaman dalam berbagai aspek, termasuk filsafat pendidikan. Lebih lengkap kongres se-Dunia ke II tantang pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad, merumuskan bahwa:
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (inteletual), diri manusia yang rasional; perasaan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya menacakup pengem,bangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spritual, intelektual, ianajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaiakn dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketudukan yangsempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.
Pendidikan, Jika dipahami dari pengertiannya maka kita bisa menggolongkan sebagai satu disiplin keilmuan yang mandiri, yaitu ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan merupakan sebuah sistem pengetahuan tentang pendidikan yang diperoleh melalui riset. Riset tersaji dalam bentuk konsep-konsep, maka ilmu pendidikan dapat dibataskan sebagai sistem konsep pendidikan yang dihasilkan melalui riset. Dari disini kita akan menentukan objek formal ilmu pendidikan yang maha luas, luas terbatas tetapi juga diartikan sempit. Dalam pengertian maha luas, Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang, bisa berupa pengalaman belajar sepanjang hidup, tidak terbatas pada waktu, tempat, bentuk sekolah, jenis lingkungan dan tidak terbatas pada bentuk kegiatannya. Pengertian kemaha-luasan tersirat pada tujuan pendidikannya.
Dalam pengertian sempit, pendidikan adalah sekolah atau persekolahan (shooling). Pendidikan bisa diartikan pengaruh yang diupayakan dan direkayasa sekolah terhadap peserta didik agar mempunyai kemampuan sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan dan tugas-tugas sosial mereka. Dengan kata lain pendidikan memperlihatkan keterbatasan dalam waktu, tempat, bentuk kegiatan dan tujuan dalam proses berlangsungnya pendidikan.
Dalam pengertian luas terbatas memberikan alternatif definisi pendidikan, yaitu dengan melihat kelemahan dari definisi pendidikan maha luas yang tidak tegas menggambarkan batas-batas pengaruh pendidikan dan bukan pendidikan terhadap pertumbuhan individu. Sedangkan kekuatannya terletak pada menempatkan kegiatan atau pengalaman pengalaman belajar sebagai inti dalam proses pendidikan yang berlangsung dimanapun dalam lingkungan hidup, baik sekolah maupun di luar sekolah. Selanjutnya kelemahan dalam definisi sempit pendidikan, antara lain terletak pada sangat kuatnya campur tangan pendidikan dalam proses pendidikan sehingga proses pendidikan lebih merupakan kegiatan mengajar daripada kegiatan belajar yang mengandung makna pendidikan terasing dari kehidupan sehingga lulusannya ditolak oleh masyarakat. Adapun kekuatanya, antara lain terletak pada bentuk kegiatan pendidikannya yang dilaksanakan secara terprogram dan sistematis.
Definisi alternatif adalah definisi dialektis yang memadukan pengertian-pengertian yang menjadi kekuatan pada definisi maha luas dan definisi sempit, sekaligus menghilangkan kelemahan-kelemahannya. Definisi alternatif merupakan definisi luas yang maknanya berisi berbagai macam pengalaman belajar dalam keseluruhan lingkungan hidup, baik di sekolah maupun di luar sekolah yang sengaja di selenggarakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini tujuan pendidikan.

Perjumpaan dengan filsafat Yunani
Sebagai suatu gerakan pemikiran, filsafat dalam Islam dimulai setelah penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Dalam penerjemahan, ide-ide yang tertuang dalam bahasa asli sering kali tidak dapat dipindahkan ke dalam bahasa sasaran dengan tepat. Terjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab pun mengalami kesulitan serupa. Misalnya, kata Yunani ousia, yang bagi orang Kristen berarti yang ada karena dirinya, diterjemahkan dengan jawhar, yakni substansi [materiil]. Kata physis, yang bagi kaum Kristen berarti alam dalam pengertian esensi sebagai prinsip kerja [Melkit] atau substansi individual konkret [Nestorian], diterjemahkan dengan thabî`ah yakni alam kudrat yang dipaksakan oleh Sang Pencipta sebagai suatu batas.
Demikian pula, ketika kaum muslimin menemukan kata philosophia, yang berarti pencarian kebijaksanaan dan kebijaksanaan yang dicari, mulanya diterjemahkan dengan hikmah. Kata ini dipakai dalam Al-quran sering kali setelah kata al-kitâb dan kedua-duanya merupakan pengajaran Tuhan yang diajarkan oleh para Utusan-Nya. Dalam kesusastraan Arab kata ini dipakai untuk menyebut satu jenis peribahasa yang berasal dari pengalaman atau pandangan yang mendalam kepada kehidupan. Pada asalnya kata ini berarti kekang yang dipasang pada mulut kuda agar dapat dikendalikan. Barang kali dari itu dimaksudkan bahwa kata-kata mutiara itu merupakan kekang bagi manusia dari kecenderungan-kecenderungan buruk yang melekat. Dengan demikian, ketika kata philosophia diterjemahkan dengan kata ini, pengertian pencarian kebijaksanaan menjadi hilang, yang tinggal hanyalah kebijaksanaan. Kebijaksanaan ini pun tidak lagi dicari, melainkan diberikan oleh Tuhan dan karenanya tinggal hanya dilaksanakan.
Walaupun pertemuan dengan filsafat Yunani diperkirakan sudah terjadi pada abad VIII, tetapi filsuf muslim pertama dalam pengertian khusus sebagaimana dipahami sekarang, barulah muncul satu abad kemudian, yakni Ya`qûb bin Ishâq al-Kindî (796-873). Ia berkutat dengan persoalan keabsahan "ilmu baru" ini dalam bangunan ilmu Islam yang sebahagian sudah terbentuk sebelumnya. Ia juga sudah berbicara mengenai jiwa manusia yang dalam pengaktualisaiannya bergerak menggapai yang mutlak, namun pemaparannya mengenai hal ini baru dielaborasi oleh para penerusnya.
Tradisi pemikiran filsafat yang sangat tinggi bisa diamati dari tradisi intelektual yang berkembang pada masa Abbasiyah. Hal ini terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir yang karya-karya cukup disegani di luar Islam. Kehidupan intelektual di zaman dinasti abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber utama yaitu al-Quran dan Hadits. Dari kedua sumber ini lalu muncullah berbagai keilmuan lainnya.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, diawal kebangkitan Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :
1) Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2) Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa, dengan memanggil ulama ahli ke sana. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

Kemajuan diraih paling tidak, dipengaruhi oleh terjadinya asimilasi bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Pengaruh Persia, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, sastra serta karya-karya dari Persia juga diterjemahkan. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam berbagai bidang ilmu, terutama filsafat.
Tradisi yang paling berpengaruh dalam menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif adalah gerakan penterjemahan. Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. Pengaruhnya bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran, daripada hadits dan pendapat sahabat.
Dalam perkembangan keilmuan keislaman. kita mengenal Imam-imam mazhab hukum yang empat, mereka semua hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah yaitu; Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi'i (767-820 M) Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M). Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Tradisi berdiskusi dan bertukar pikiran juga telah berkembang, hal ini juga dukung oleh adanya bayt al-hikmah yang dijadikan tempat berkumpul untuk bertukar pikiran dan berdebat masalah keilmuan. Sehingga dari sinilah muncul berbagai pemikiran kreatif untuk mengembangkan dan mencari ilmu dari ilmu agama (fikih, tafsir, teologi/ilmu kalam dll) sampai kepada ilmu umum, misalnya matematika, kedokteran, sastra dan filsafat.
Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam .
Perkembangan Ilmu-ilmu umum bisa dilihat dari, misalnya; ilmu kedokteran (at-Tibb) dengan didukung adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur. Ilmu matematika, astronomi dikembangkan dengan fasilitas didirikannya observatorium pada masa khalifah al-Ma’mun di Sinjar. Dengan adanya observatorium itu menunjukan adanya tradisi penelitian/ekperimen yang tinggi di bidang ilmu eksak, tradisi ini juga berkembang pada penelitian hadits sehingga muncul berbagai kitab hadits. Dalam bidang astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Bidang kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn. al-Haythami, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Perhatian masyarakat juga sangat tinggi dibidang sastra, bisa dikatakan Pada abad ini adalah abad keemasan sastra Arab dan sejarah, masyarakat arab sangat membanggakan sastra dan asal usul mereka, dalam periode awal abbasiyah telah didapati banyak terjemahan dari bahasa Pahleli atau adaptasi dari bahasa persia. Banyak orang-orang yang gemar untuk menulis sastra dan sejarah kabilah-kabilah mereka, kehebatan nenek moyang meraka sangat dibanggakan. Bagian sejarah yang penting adalah riwayat nabi Muhammad. Berkembanganya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini (Abbasiyah) antara lain karena kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif. Pada era ini, sikap umat Islam yang terbuka terhadap seluruh umat manusia mendorong orang-orang non arab (mawali) untuk masuk Islam.

Membangun Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam
Jika kita perhatikan masa kejayaan Islam, tentunya hal yang menarik kita perhatikan adalah tradisi keilmuan masyarakat Islam pada waktu itu. Kesadaran akan ilmu dan kecintaan akan ilmu sangat tinggi, tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/kebebasan berfikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang meraka kuasai.
Tradisi itu terlihat dari; kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada khalayak umum atau yang disponsori oleh khalifah, para ulama biasanya open hause bagi siapa aja yang mau datang kerumahnya untuk membaca, kedudukan meraka juga dimata masyarakat sangat mulia. Sedemikian cintanya masyarakat akan ilmu sampai-sampai khalifah pada waktu itu untuk merebut hati masyarakat harus memberi perhatian kepada pengembangan ilmu. Kebebasan berpikir yang tinggi memicu tradisi berdiskusi dan berdebat, meraka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai tempat bertemu untuk berdiskusi. kebutuhan untuk berkarya, sehingga kemandekan pemikiran bisa diatasi.
Tradisi keilmuan ini juga telah berkembang di tradisi keilmuan barat; motivasi mereka sangat tinggi untuk mencari ilmu, tradisi membaca dan berdiskusi tinggi, tradisi meneliti yang tinggi, keterbukaan berfikir dan kebutuhan untuk berkarya juga sangat tinggi. Teknologi dan informasi kebanyakan dikuasai oleh barat, banyak temuan dan peraih nobel pengetahuan bukan dari kalangan Islam. Inilah menurut penulis kemajuan barat dan Islam abbasiyah dalam hal ilmu pengetahuan yang perlu kita kembangkan dalam rangka kemajuan dibidang pendidikan Islam. Inilah yang harus kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan. Kita harus membangun tradisi keilmuan yang kondusif dalam lingkungan masyarakat akademis. Menciptakan tradisi membaca, tradisi menulis, berdiskusi, meneliti, keberanian untuk berfikir kreatif dan terbangunnya kebutuhan akan berprestasi dan berkarya.
Probem pendidikan Islam adalah problem sistemik, kita perlu melibatkan berbagai pihak untuk bisa lepas dari keterpurukan. Mulai dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan besarbagi sistem pendidikan nasional dan sebagai pengayom pelaksanaannya, lembaga pendidikan Islam, pendidik, peserta didik sampai kepada orang tua pendidik (anak didik) .
Tradisi atau iklim akademis yang kondusif perlu didukung oleh berbagai pihak dari mulai kebijakan pemerintah yang mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, fasilitas bisa berupa sarana praktikum, buku dan gedung yang kondusif untuk sarana belajar dan akses pendidikan untuk warga miskin. Pemerintah harus cermat dalam menentukan anggaran pendidikan serta mengawalnya, sehingga tidak ada penyelewengwan anggaran pendidikan yang hal itu memperngaruhi pelaksanaan program pendidikan.
Bagi lembaga sekolah dan pendidik harus mampu memberikan kebijakan dalam rangka membentuk tradisi intelektul (membaca, menulis, meneliti dan berdikusi serta berkarya) di kampus atau disekolah, misalnya dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah, lomba penelitian, lomba debat, memberikan motivasi untuk membaca, menggunakan metode dan media yang bisa mengembangkan daya pikir, kreatifitas, membuat program-program lainya untuk pengembangan diri dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.
Bagi orang tua membantu menciptakan suasana akademis dirumah, dengan mengarahkan meraka untuk belajar dan selalu memotivasi meraka untuk maju. Orang tua juga berkewajiban mengawasi prilaku anak didik, orang tua juga harus mengetahui program sekolah, sehingga kegiatan sekolah terbantu oleh orang tua ketika mereka berada diluar sekolah. Antara sekolah (lembaga Pendidikan Islam), guru (pendidik) dan orang tua anak didik harus saling komunikasi; Sekolah mengetahui kebutuhan masyarakat dan masyarakat mengetahui kebutuhan sekolah, mengetahui problem anak didik dan sebagainya. Hal ini memungkinan untuk mengetahui dan selanjutnya membicarkan problem-prolem pendidikan yang sedang terjadi, sehingga ditemukan solusi yang tepat untuk berbagai pihak
Pengembangan tradisi-tradisi keintelektualan seperti diatas harus dikembangkan mulai dari pendidikan dasar. Jika tradisi tersebut tidak dikembangkan dari pendidkan dasar, maka pendidik akan kesulitan menciptakan tradisi keilmuan untuk mereka, sehingga penciptaan tradisi itu selalu terlambat untuk diterapkan.

Learning Society; Upaya Memberdayakan Pendidikan Masyarakat.
Keprihatikan bangsa ini yang dilanda krisis multidimensi dalam berbagai aspek kehidupan menuntut peran pendidikan Islam sebagai benteng sekaligus mencetak generasi penerus untuk memperbaiki kondisi yang ada. Menjadi sangat wajar jika beban dari krisis ini seluruhnya dibebankan kepada pendidikan. Baiknya suatu bangsa bisa dilihat dari baiknya pendidikannya, majunya suatu bangsa juga dipengaruhi dari pendidikannya.
Persepsi masyarakat terhadap sekolah mewakili kondisi yang ada dalam masyrakat/negara. Kenyataan ini, misalnya, telah pula mendapat perhatian para filosof sejak zaman Plato dan Aristoteles, sebagaimana diungkapkan bahwa ‘as is the state, so is the shool’ (sebagaimana negara, seperti itulah sekolah), atau ‘what you want in the state, you put into school’ (apa yang anda inginkan dalam negara, harus anda masukkan dalam sekolah). Hal ini menunjukan, bahwa keberhasilan dari proses pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh pihak sekolah saja, tetapi peran keluarga dan masyarakat juga berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Berangkat dari hal inilah maka perlu diperhatikan lingkungan di luar sekolah, baik secara formal maupun non formal, bahkan informasi sekaligus. Harus ada upaya menciptakan ligkungan yang kondusif, yang mampu mengembangkan potensi masyarakat guna mewujudkan tujuan pendidikan yang disepakati bersama.
Pengembangan pendidikan di Indonesia, hendaknya dilihat sebagai suatu proses kelangsungan peradaban bangsa, maka faktor-faktor psiko sosial budaya perlu diikutsertakan dalam merancang pendidikan, dan perlu diciptakan situasi yang kondusif dalam pembelajaran. Tranformasi sosial psikologis dan budaya adalah suatu keniscayaan yang dihadapai bangsa ini, tetapi hal itu bisa dikendalaikan, khususnya dalam sektor pendidikan. Transformasi ini memunculkan tatanan baru dalam masyarakat, untuk itu perlu pendekatan sejenis sosial and culture engenering yang mampu mengendalaikan perubahan dan pergeseran ke arah yang diinginkan.
Dalam upaya menciptakan situasi kondusif bagi keberhasilan belajar hanya dapat terjadi bila seluruh masyarakat kita menuju masyarakat learning society. Artinya, proses mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 hendaknya diselenggarakan melalui tiga jalur institusi pendidikan, yaitu; (1) lingkungan atau jalur sekolah dan jalur luar sekolah, (2) dilaksanakan oleh berbagi pihak termasuk kerjasama masyarakat dengan pemerintah. (3) merupakan kegiatan yang tidak terputus-putus higga dapat disebut sebagai pendidikan seumur hidup (life long education). Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mewujudkan masyarakat belajar adalah dengan memberdayakan keluarga agar menjadi keluarga yang gemar belajar. Dalam memberdayakan pendidikan keluarga, relevan utuk ditampilakan beberapa fungsi keluarga, yaitu: (a) fungsi keagamaan, (b) fungsi cinta kasih, (c) fungsi reproduksi, (d) fungsi ekonomi, (e) fungsi pembudayaan, (f) fungsi perlindungan, (g) fungsi pendidikan dan sosial, dan (h) fungsi pelestarian lingkungan.
Disamping memberdayakan pendidikan keluarga, upaya mewujudkan learning society adalah dengan menciptakan partisipasi masyarakat, mewujudkan pendidikan yang berasal dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat. Dengan pendekatan demikian diharapkan akan mempertebal rasa self of belonging yang akhirnya tumbuhnya rasa tanggung jawab atas kondisi yang ada. Sehingga dengan learning society diharapkan akan terwujud masyarakat madani (civil society), hal ini sekaligus sebagai alternatif dalam mengatasi masalah yang melanda negara ini.
Semoga. Allahu a’lam bi showab

Daftar Pustaka

Arifin M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 1994.
Artikel. Lepas. Khilafah Bani Abbas (Masa Kemajuan Islam). www. almihrab.com
Hasan Hasan Ibrahim, Sejarah dan kebudayaan Islam (islamic History and Culture) terj. Djahdan Humam, Yogjakarta, 1989
Jalaluddin & Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1999.
Monnot Guy, "Les Doctrines des chrétiens dans le <> de `Abd al-Jabbâr", dalam MIDEO (Melanges d’Institut Dominicain d’Etudes Orientales du Caire), no. 16/1983
Mudyahardjo Redja. Filsafat Pendidikan; Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosda Karya. 2002.
Nakosteen Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis abad keemasanIslam Risalah Gusti. Surabaya.1996.
Nata Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam (I). Jakarta. Logos Wacana Ilmu. 1997.
Nizar Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta. Ciputat Pres. 2002
Rapar Jan Hendrik. Pengantar Filsafat (Terj). Yogyakarta. Kanisius. 1996.
Watt W. Montgomery. Kejayaan Islam; Kajian kritis dari Tokoh Orientalis. Tiara Wacana. Yogjakarta. 1990.

* M. Fakhruddin: Penulis adalah Alumni UIN malang dan sekarang masih melanjutkan S2 di UIN Sunan kalijaga Yogyakarta

0 komentar:

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang