Pelurusan Sejarah 30 September 1965, Jangan Putihkan PKI

17 Jul 2007
Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) mendukung pelurusan sejarah 30 September 1965, namun mengingatkan agar hal itu bukan untuk memutihkan PKI.

"Kita setuju pelurusan sejarah 30 September 1965, tapi jangan sampai digunakan untuk memutihkan PKI," kata Ketua Harian Presidium Majelis Nasional KAHMI, Abdul Asrie Harahap, di Jakarta, Rabu.

Ia mengetakan, ada kecenderungan untuk menganggap peristiwa 30 September 1965 hanya merupakan ekses dari pertarungan elit politik saat itu atau upaya kudeta dari militer, khususnya Angkatan Darat, dan menempatkan PKI sebagai korban.

"Alasan bahwa itu hanya kudeta militer di mana PKI hanya menjadi korban adalah alasan lama yang dulu juga pernah dikemukakan tokoh PKI, Nyoto, karena faktanya PKI memang terlibat pemberontakan itu," kata mantan ketua harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Jember pada 1966 itu.

Selaku pelaku sejarah, Harahap menyatakan tahu betul sepak terjang PKI saat itu, sehingga menurut dia, tidaklah tepat jika ada yang menyatakan PKI tidak memiliki peran dalam peristiwa 1965 tersebut.

"Saat ini ada upaya untuk menjadikan PKI sebagai pahlawan, padahal semua tahu sebelum tahun 1965 mereka juga sudah pernah melakukan pemberontakan di Madiun, yakni pada 1948, saat bangsa Indonesia masih sibuk menghadapi penjajah," katanya.

Kalau sampai PKI "diputihkan", KAHMI yakin tuntutan akan terus dikembangkan, misalnya pencabutan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme- Leninisme.

KAHMI, kata Harahap, setuju dengan ide rekonsiliasi, namun tidak akan menerima jika rekonsiliasi juga dimaksudkan untuk memberi ruang bagi hidupnya kembali paham komunisme yang bukan tidak mungkin akan dikembangkan oleh keturunan PKI.

Saat ini tim penulis ulang sejarah Indonesia yang diketuai ahli sejarah senior yang juga mantan Ketua LIPI, Taufik Abdullah dengan anggota antara lain Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia, Dr Anhar Gonggong tengah melakukan penelitian terhadap pelurusan sejarah 30 September 1965 tersebut.

Mendiknas A Malik Fajar berharap tim independen itu sudah bisa menyelesaikan hasilnya pada 1 Oktober 2004. Mendiknas juga membantah bahwa penulisan ulang tersebut sebagai upaya pemutihan sejarah.

"Penulisan ulang sejarah Indonesia bukanlah pemutihan sejarah, tetapi suatu telaah kembali yang sifatnya obyektif dan dilakukan oleh kalangan ilmuwan tanpa dicampuri oleh siapapun," katanya usai mengikuti upacara peringatan Pengkhianatan Terhadap Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Rabu. http://www.gatra.com/2003-10-01/artikel.php?id=31440 Gatra,Jakarta, 1 Oktober 2003 14:12

0 komentar:

 
 
Copyright © KAHMI UIN Malang