15 Des 2008
Oleh : MA. Busthonul Arif eL-Fahm
Dalam ramalan Alfin Tofler dalam karya futuristiknya, ia meramalkan bahwa dunia ini akan memasuki perubahan-perubahan besar, yang ditandai dengan tiga gelombang perubahan besar, Gelombang pertama pada era 1800-an, orang bisa dikatakan kaya apabila orang tersebut mengusai asset lahan tanah, hal ini dikarenakan dimana lahan tanah menjadi asset yang sangat vital karena akan memberi pengaruh yang sangat besar pada kehidupan seseorang. Gelombang kedua pada era 1900-an, adanya era dimana industri menjadi asset terpenting yang memberikan pengaruh besar bagi kehidupan. Maka pada era ini lahirlah sosok orang kaya karena mengusai asset industri.
Gelombang ketiga pada era 2000-an, adanya era dimana informasi menjadi sebuah kekuatan yang sangat signifikan dalam mempengaruhi perubahan pada kehidupan Sehingga pada era ini (baca: sekarang) orang yang paling kaya adalah orang yang mampu mengusai asset informasi. Amerika adalah buktinya sehingga Negara ini mampu menjadi Negara adikuasa. Dan hal ini bisa kita lihat pada fenomena masyarakat sekitar kita yang hampir semua, bahkan hampir seluruh penduduk dunia mempunyai ponsel, sehingga produsen alat telekomunikasi dan informasi adalah “rajanya” manusia pada abad sekarang ini.
Ketika kita berbicara tentang dunia pendidikan, kita tidak akan lepas dengan sosok seorang pendidik (Guru), lalu bagaimana kedudukan dan posisi seorang guru dalam strata social tersebut (dalam konteks Globalisasi-Informasi)?
Kita bisa melihat dalam sejarah kehidupan, bahwa ternyata banyak para tokoh pendidik yang sebagian besar tidak mampu untuk mengapai pada strata paling tinggi, sebagai pemilik/tuan tanah atau pemilik industri (pengusaha) atau penguasa informasi. walaupun kita juga tidak menafikan bahwa status Guru yang mendapat predikat dari masyarakat sebagai “Pahlawan tanpa tanda Jasa”. Tetapi Hal ini menjadi ambivalen ketika kita melihat realitas pada dunia pendidikan yang ada disekitar kita dan hal ini diperparah dengan paradigma klasik bahwa menjadi guru harus siap miskin. Banyak cerita-cerita yang berkembang dimasyarakat, biasanya paradigma ini berkembang ketika para orang tua memberi wasiat kepada anak gadisnya agar jangan menikahi Guru, karena tidak mungkin akan menjadi orang kaya, sangat naïf memang! ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”
Guru atau pendidik sebagai embrio segala perubahan bagi kemajuan masyarakat ternyata memang kurang begitu mendapat apresiasi yang sesuai baik itu oleh masyarakat maupun Negara. Hal ini menjadi tragis dalam era globalisasi, persaingan menjadi sangat ketat dan kadang sangat tidak adil, karena ternyata persaingan semuanya hanya melihat dalam aspek materialisme.
Perubahan paradigma pada seorang guru adalah hal yang sangat fital karena disanalah letak awal sebuah pondasi bagi peradaban suatu masyarakat. Maka menjadi sebuah keniscayaan guru harus mampu mengubah paraigma masyarakatnya, baik itu lingkungannya, muridnya, keluarganya atau setidaknya dirinya sendiri. Ada hal yang perlu diketahui bahwa mengubah suatu paradigma atau pemikiran tidak memerlukan harta atau uang yang banyak, tetapi tidak semua orang mampu melakukannya.
Guru sebagai sosok orang yang “digugu” dan “ditiru” perlu melihat kembali posisi yang sedang diembannya, karena bagaimanapun juga pandangan terhadap diri sendiri akan sangat berpengaruh terhadap pandangan orang lain dan masyarakat terhadapa guru itu sendiri, sehingga sosok seorang Guru harus mempunyai prinsip dan nilai-nilai yang bermuara pada pancaran hati. Proses menjadi guru yang ideal memang harus berangkat pada sebuah keyakinan yang sangat kuat karena mutlak dalam perjalanan karir seorang Guru selalu membutuhkan sebuah bentuk perjuangan yang berkesinambungan. Sehingga posisi Guru akan mempunyai bargaining yang kuat dalam masyarakat dan Negara dalam meberikan konstribusinya pada sebuah peradaban.
Guru Harus Kaya!
Pernahkah kita bertanya, Adakah seseorang yang tidak pernah miskin selama hidupnya?
Jawabanya, tentunya jarang sekali dan hampir pasti tidak ada, kalaupun toh ada adalah hanya orang tertentu “khos” yang sangat beruntung. Saya coba untuk mengutip beberapa tanggapan Gede Prama tentang masalah orang miskin dan orang kaya, yang mengatakan bahwa, Ada orang yang lahir pada keluarga yang kaya secara materi, namun merasa diri paling miskin di dunia, sebab dia selalu membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih tinggi. Ada juga yang lahir dan tumbuh dari keluarga yang kaya akan spiritual, tetapi menyesali kehidupan materinya yang serba kekurangan.
Pergulatan “kaya” rasionalisme dengan spiritualisme selalu mewarnai perjalanan hidup manusia, kekayaan materi (keduniaan) tetapi sering juga tidak diimbangi dengan spiritualitas. Dan begitu juga sebaliknya kekayaan spiritualisme tanpa dibarengi kekayaan rasionalisme lebih mengarah pada mitologi masyarakat sehingga yang terjadi adalah pengaruhnya terhadap masyarakat yang nantinya cenderung stagnan dan jumud terhadap perubahan, perkembangan dan kemajuan bagi masyarakat itu sendiri.
Nah kalau kita coba untuk memetakannya, bahwa ada dua variabel mengenahi orang kaya, yakni dalam aspek materi dan non materi (spiritual). Sehingga bisa ditarik hipotesis bahwa orang yang benar-benar kaya adalah orang yang mampu mengapai kaya dalam dua aspek tersebut, tetapi pertanyaannya kemudian adalah tidakkah hal tersebut adalah hal yang utopis dalam realitas kehidupan manusia, karena watak dasar manusia yang selalu merasa tidak puas dengan apa yang telah dicapainya?. Maka dengan kata lain, orang yang tidak pernah miskin, sedikit kaitannya dengan tingkatan material maupun spiritual seseorang, melainkan lebih pada seberapa baik dan seberapa bisa menikmati dan mensyukuri hidupnya. Begitu kemampuan menikmati dan mensyukuri tersebut melekat dalam kehidupan seseorang, dari itulah kemudian manusia-manusia seperti ini bisa terkategorikan dalam manusia yang tidak akan pernah miskin.
Menjadi guru kaya, adalah proses yang harus ditempuh jika menginginkan sebuah perubahan yang mendasar terhadap dunia pendidikan kita. Karena bagaimanapun juga Guru kaya adalah jembatan menuju bangsa yang kaya, karena guru kaya akan mengajarkan generasi bangsa menjadi kaya, dunia pengajaran akan lebih kaya kreativitas dan kaya akan ilmu sehingga dengan begitu kemiskinan suatu bangsa akan berkurang dan dunia akan bebas dari korupsi dan manipulasi (Amir Tengku Ramly:2005)
Terkait dengan proses menjadi guru kaya ada dua hal pokok yang perlu untuk kemudian dilakukan suatu perubahan yang paling dasar, yakni berkenaan dengan paradigma guru dan pandangan terhadap pekerjaan seorang guru. Berdasarkan paradigma guru, meminjam istilah Robert T Kiyosaki, paradigma Guru dapat digolongkan dalam dua tipe dasar, yakni tipe berparadigma “to have” (memiliki) yaitu suatu gagasan atau pola piker seseorang yang cenderung dan mengutamakna pada kebutuhan materi dan paradigma “to be” (menjadi) yakni suatu gagasan atau pola piker yang cenderung pada nilai-nilai non materi.
Maka dari sinilah paradigma seorang guru harus mulai diubah dari paradigma lama “to have” menuju paradigma “to be” yang dalam pandangan Erich Fromm disebutnya sebagai sebuah pergeseran paradigma yang dapat digambarkan sebagai suatau proses kesadaran baru dalam mengatasi kesepian makna hidup. Ada beberapa hal pokok yang harus dipersiapkan dan dilakukan seorang Guru kaya terkait dengan kompetensi dirinya,(yakni kepribadian guru yang harus mempunyai visi-misi yang jelas dalam menjalankan hidup dan dalam dunia pengajaran sehingga mampu mengekspresikan keinginan, tujuan dan makna hidup) Dan kompetensi profesi (yang meliputi pemahaman terhadap dunia pengajaran, ketrampilan akademis, intuisi dan rasa).
Diantara proses yang harus dipersiapkan dan yang harus dilakukan oleh seorang Guru Kaya adalah :
1. Selalu melatih diri, karena menjadi Guru adalah sebagai profesi-keahlian
2. Mempunyai mentalitas kaya dalam melakukan interaksi-proaktif (win-win solution) khususnya dengan peserta didik.
3. Tidak mengebiri atau mematikan potensi peserta didik terkait antara dunia pengajaran dengan dunia realitas
4. Senantiasa melakukan Lerning bukan lagi teaching, artinya bahwa seorang guru harus senantiasa belajar dengan mensinergikan otak kiri, otak kanan, panca indra dan hatinya untuk memperoleh sumber ilmu yang haqiqi.
Kategori
- Aneka (1)
- Artikel (39)
- Bahasa dan Sastra (1)
- Berita (22)
- Download (2)
- Filsafat (4)
- Galery (3)
- HMI (4)
- Info (7)
- Internasional (10)
- Islam (21)
- Islam Indonesia (2)
- Jatim (4)
- Kata Sang Tokoh (1)
- Kehidupan (5)
- Malang (1)
- Nasihat (1)
- Nasional (6)
- Opini (12)
- Pendidikan (21)
- Politik (11)
- Potik (2)
- Renungan (4)
- Sains dan Teknologi (6)
- Tasawuf (2)
- Tentang Kahmi (8)
- UIN MMI (7)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar