28 Feb 2008
Oleh: M. Mukhlis Fahruddin*
Penyelesaian Metodologis
Polemik pluralisme terjadi karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sebagai berikut: Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural. Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.
Dari uraian di atas sumber konflik pada permasalahan ini adalah karena adanya pemahaman yang berbeda tentang pluralisme, pihak yang pro melandasinya dari realitas masyarakat yang majemuk sehingga perlu dikembangkan sikap untuk menjaga keutuhan persatuan, kedamaian dengan toleransi dan sikap menghargai kepercayaan yang dianut oleh kelompok/ lain, hal ini tidak sama dengan berpindah agama atau menjadikan kepercayaan (Islam; Aqidah/Iman) menjadi kabur.
Berbeda dengan kelompok kontra, mereka menghawatirkan gerakan ini akan merusak aqidah ummat karena adanya konsep bahwa pada hakekatnya semua agama benar, saling menghargai kenyakinan masing-masing hal ini sama saja dengan mengkaburkan iman dan ditakutnya akan berpindahnya agama tanpa meraka melihat realitas majemuk masyarakat.
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralism, melainkan bentuk sintetis asimilasi yang dikemas dalam kata lain. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism-non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme-asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.
Dalam fatwa pengharaman, MUI mendefinisikan bahwa pluralisme yang dilarang adalah yang "menganggap semua agama yang berbeda adalah sama". Sementara salah satu konsekuensi dari penyamaan itu adalah berubahnya aspek-aspek baku dari suatu ajaran mengikuti ajaran yang lain, yang hal itu tidak dikehendaki ajaran manapun. Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism-non asimilasi, hal ini di-salah-pahami sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya.
Sementara di sisi lain bagi penganut definisi pluralisme-asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya. Dengan tingkat pendidikan yang kurang baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan tersinggung seringkali muncul dalam perdebatan antar tiga pihak yaitu; penganut pluralisme–asimilasi, penganut pluralism-non asimilasi dan penganut anti-pluralisme (yang sebenarnya setuju dengan pluralism non-asimilasi)
Terhadap sejumlah kontradiksi, tentu saja harus ada penanganan dan penyelesaian metodologis. Sebab, sebagai teks yang memiliki otoritas mutlak yang tak terbantahkan, Al-Qur'an adalah kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Islam. Pembacaan terhadap kitab Al-Qur'an sendiri secara cermat menyangkut tema pluralisme agama bukan saja sangat berguna, melainkan terasa sangat mendesak di tengah semarak kekerasan di Indonesia yang sering kali berbasiskan sejumlah teks agama, termasuk Al-Qur'an. Untuk kepentingan itu, pada hemat saya, Al-Qur'an kiranya perlu dipecah ke dalam dua macam kategori.
Pertama, adalah ayat-ayat yang bersifat universal, ushul, ghayat (tujuan) dan lintas-batas yang meliputi batas historis, ideologi, etnis, suku, bahkan agama. Ayat-ayat seperti ini biasanya lebih banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar ajaran dalam Islam, seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan (termasuk kesetaraan gender), pluralisme (termasuk pluralisme agama), dan penegakan hak asasi manusia (iqamah huquq al-insan). Dalam lanskap ini, maka ayat-ayat yang mendukung pluralisme adalah ayat-ayat ushul yang derajat relevansinya tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Kedua, adalah ayat-ayat Alquran yang tergolong sebagai ayat partikular, juz`iy, fushul, dan wasilah. Yaitu, ayat-ayat yang biasanya berbicara tentang hal-hal yang teknis-operasional dengan demikian ia terikat oleh konteks spasial. Masuk dalam kategori model ayat kedua ini, di antaranya, adalah ayat-ayat yang terkait dengan waris, ketidakadilan gender, perintah memerangi orang kafir-musyrik, diskriminasi terhadap perempuan dan nonmuslim, dan lain-lain. Dengan mengacu pada ayat yang demikian, maka dapat dimaklumi sekiranya para ulama fikih klasik mempunyai pendirian teologis yang eksklusif. Mayoritas pemikir fikih Islam klasik, misalnya, berpandangan bahwa (1) tidak diperkenankan bagi orang kafir dzimmi untuk tampil lebih unggul dari orang Islam; (2) nonmuslim tidak boleh menjadi kepala negara bagi umat Islam; (3) nonmuslim adalah warga negara kelas dua, dan sebagainya.
Menghadapi ayat-ayat partikular yang cenderung eksklusif bahkan diskriminatif itu, maka hemat saya tidak bisa lain kecuali harus segera ditundukkan ke dalam pengertian ayat dalam kategori pertama. Ayat partikular mesti didialogkan dengan ayat-ayat universal. Ayat yang fushul dapat direvisi oleh ayat-ayat yang ushul. Dengan demikian, ayat yang mendukung pluralisme agama dapat menganulir ayat yang tidak mendukungnya. Inilah yang dimaksud oleh kaidah ushul fikih sebagai naskh al-ayat bi al-ayat. Satu ayat dapat dianulir oleh ayat yang lain. Menurut Ibnu al-Muqaffa, sayangnya umat Islam telah lama terlena oleh ayat-ayat yang fushul (partikular) dengan pengabaian yang nyaris sempurna terhadap ayat-ayat yang ushul (universal). Ia menyatakan, I'rif al-ushul wa al-fushul; fa inna katsiran min al-nas yathlubuna al-fushul ma'a idha'at al-ushul. Ketahuilah olehmu yang terperinci dan yang prinsip. Karena sebagian besar dari manusia, mencari yang ayat-ayat terperinci, sambil menggabaikan ayat-ayat yang prinsip. Padahal, dalam konteks masyarakat yang semakin mengarah pada kehidupan demokratis dan pluralistik, maka mengacu pada model ayat kedua tadi kiranya tidak cukup menolong. Sebaliknya, dengan berpegangan pada prinsip dasar ajaran seperti yang tertuang didalam model ayat pertama, diharapkan dapat membantu terciptanya masyarakat yang rukun-damai. Terlebih dalam kasus Indonesia. Bahwa Indonesia bukanlah negara yang hanya didirikan oleh komunitas muslim saja, melainkan oleh seluruh warga negara, baik yang beragama Hindu, Buddha, Kristen, maupun Islam.
Indonesia berdiri di atas seluruh jerih payah seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, memperlakukan umat nonmuslim persis seperti yang ada di dalam ayat-ayat partikular yang kemudian ditegaskan di dalam fikih Islam, bukan hanya tidak bijak bestari melainkan juga bertentangan dengan logika ayat-ayat universal yang mendukung pluralisme agama.
Membangun Paradigma Baru Pendidikan Menghadapi Pluralitas
Pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter umat manusia. Dalam kehidupan umat beragama, pendidikan agama yang humanis dan toleran terhadap umat (iman) manusia lainnya sangat diperlukan. Dari problem keagamaan yang dipaparkan di muka, maka model-model pendidikan Islam yang cenderung eksklusif, mengagungkan klaim kebenaran, sakralisasi pemaknaan teks-teks agama, tidak peka terhadap problem kemanusiaan dan kealaman, dan isolatif terhadap informasi kebenaran yang datang di luar pemahaman Islam, maka perlu dilakukan "format ulang" dengan model "open-ended" tafsir keagamaan ataupun pendekatan agama "post-dogmatik" . Relevansinya dengan paradigma baru pendidikan Islam dalam masyarakat majemuk (agama), adalah penting untuk mengemukakan pendapat Soedjatmoko. Menurut Soedjatmoko, peran agama dalam pendidikan adalah menciptakan kesadaran pluralisme agama dengan menumbuhkan perasaan berbagi kemanusiaan dengan orang-orang yang secara fundamental berbeda orientasi ideologisnya. Keharusan untuk berbagi dalam bumi yang kecil ini hendaknya memaksa kita untuk memikirkan kembali alat-alat kultural dan sosial kita agar mampu bertahan (survive) dengan perdamaian, kebebasan dan martabat manusia.
Kemauan berbagi dengan kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial, dan peka dengan batas-batas toleransi masyarakat terhadap perubahan sosial dan terhadap ketidakadilan , merupakan indikator-indikator lainnya yang diharapkan dikembangkan dalam pendidikan Islam. Selain itu, menghadapi pluralitas agama, pendidikan Islam hendaknya mampu membentuk karakter umatnya yang bisa bekerja sama dengan orang lain atau pihak lain terlepas dari perbedaan (diskriminasi) kebudayaan, ras atau agama. Hal penting lainnya yang perlu dilakukan dalam pendidikan Islam adalah agar umat memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan agama sehingga terungkap relevansinya dengan masalah-masalah perkembangan baru.
Pendidikan Islam harus mampu mengemban misi humanistiknya, pendidikan (Islam ) humanistik bermaksud membentuk insan manusia yang memiliki komitmen humaniter sejati, yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah masyarakat.
Untuk mau berbagi kemanusiaan, maka pendidikan Islam perlu memahami eksistensi umat agama lain sebagai sesama makhluk Tuhan dengan dialog dan toleransi. Dialog merupakan konsekuensi dari keberagamaan dalam kehidupan masyarakat yang plural. Tujuan dialog antar iman (agama), adalah belajar memahami eksistensi masing-masing. Jadi, bukan hanya demi kerjasama menghadapi pihak ketiga. Dialog bukan pula hanya demi menjauhkan bahaya saling konflik atau hanya menambah pengetahuan mengenai sebuah kelompok lain. Yang lebih penting lagi memperdalam iman kita masing-masing dan memperkaya spiritualitas kita masing-masing
Dalam perspektif pluralisme, kita semua mempunyai panggilan untuk membangun sebuah taman kehidupan yang indah, tenteram, menarik, simpatik, dan tentunya berguna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Usaha-usaha ke arah itu sebenarnya sudah sering dicoba dengan mengintensifkan dialog antartokoh agama dan masyarakat. Namun, dialog yang terjadi adalah dialog seremonial-formal dengan banyak diwarnai basa basi dan sangat protokoler. Esensi dari dialog sendiri kadang kurang tersentuh. J Donald Moon dalam komentarnya terhadap Practical discourse and communicatives ethis dari Habermas mengatakan bahwa menurut filsuf besar itu salah satu prinsip utama komunikasi adalah reciprocal recognation atau penghargaan, pengenalan timbal balik.
Sikap saling mengenal ini lebih diarahkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam dialog sehingga mereka sungguh-sungguh dapat mengerti pendapat, prinsip-prinsip kebenaran dan keyakinan masing-masing. Persis kekurangan yang sering terjadi dalam dialog adalah kurangnya sikap saling mengerti satu sama lain sehingga masing-masing pihak berbicara menurut sudut pandang, keyakinan dan kebenarannya sendiri. Bahkan, dialog berubah menjadi debat kusir dan dialog berakhir dengan suasana tidak nyaman ketika terjadi pengklaiman kebenaran dari masing-masing pihak.
Dengan demikian, dialog tidak hanya terasa kering dan hambar, tetapi juga sangat kontraproduktif bagi hidup bersama. Meskipun demikian, dialog tetap menempati peran yang sangat penting dalam masyarakat pluralis. Sebab, tanpa ada komunikasi, masing-masing kelompok yang berbeda sangat rentan untuk jatuh dalam eksklusivitas dan akhirnya terjebak dalam fanatisme sempit.
Sayang, dialog sering dipahami dan diwujudkan sebatas dialog verbal dan hanya melibatkan beberapa orang sebagai representasi masyarakat. Sementara di luar itu semua, terdapat sebuah dialog yang sungguh-sungguh murni, tanpa skenario, tanpa diskusi tema, tanpa bahasa dan istilah tinggi, lepas dari unsur seremonial, dan lebih banyak membawa dampak positif dalam kehidupan bersama, yaitu dialog kehidupan.
Dialog kehidupan dengan mengedepankan konsep kesederajatan di antara sesama manusia, pertama-tama tidak memberi penekanan pada tataran verbal, tetapi pada tindakan nyata; didasarkan pada cinta kasih, rasa kekeluargaan, semangat persaudaraan, dan sikap saling membutuhkan.
Penghormatan terhadap eksistensi manusia lewat pemahaman kesederajatan dan kemartabatan ini akan memunculkan sikap toleransi dan saling menghargai terhadap berbagai perbedaan yang ada, kesetiakawanan yang inklusif, rasa solidaritas, tanpa disertai tendensi dan motif-motif kepentingan diri dan kelompok.
Toleransi pun tidak hanya dilakukan kepada umat agama lain, tetapi perlu dilakukan di dalam tubuh Muslim sendiri. Adalah mengherankan, jika dialog dan toleransi agama terhadap umat agama lain gencar dipropagandakan, tetapi terhadap sesama Muslim sendiri, karena berbeda mazhab fiqh dan pemikiran, justru dilupakan sama sekali. Penulis berpendapat seruan ini sudah sering disampaikan oleh segenap pemuka Islam, tetapi selalu mengalami kebuntuan, karena toleransi dan dialog agama masih menjadi milik elit agama, belum menjadi sebuah gerakan massa. Paling jauh, dengan komunitas keagamaan yang berbeda ditanamkan sikaf inklusif, tetapi di antara sesama komunitasnya sendiri justru diperkeras sikap eksklusifisme. Ada standar ganda dalam pola hubungan keberagamaan.
Tanggung jawab Muslim sebagai khalifatullah di muka bumi akan kehilangan makna keberimanannya kepada Allah, tanpa kehadiran umat manusia lainnya meskipun berbeda agama. Menghadapi krisis global sekarang pun, beban kekhalifahan tidak cukup hanya ditanggung oleh umat Islam sendirian. Dalam Etika Global adalah menjadikan setiap manusia untuk diperlakukan manusiawi. Keharusan itu diwujudkan dalam komitmen kemanusiaan kepada budaya tanpa kekerasan dan yang menghargai hidup, budaya solidritas dan tata cara ekonomi yang adil, budaya toleransi dan hidup yang benar, dan budaya kesamaan hak dan kemitraan laki-perempuan.
Untuk mewujudkan komitmen itu, maka dialog antar agama menjadi penting oleh karena itu, maka aspek pluralis, humanis, dan toleran dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan, sehingga tumbuh kepekaan sebagai sesama umat manusia.
Kemerdekaan Beragama
Pada masa lalu, semua agama pasti pernah mengalami penderitaan dan konflik. Hal itu bisa jadi diakibatkan oleh kebijakan yang diskriminatif oleh penguasa atau karena perlakukan agama lain yang lebih mayoritas. Oleh karenanya, hampir semua agama memberikan perhatian yang lebih terhadap hak-hak dasar kebebasan beragama. Kebebasan beragama ini juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keadilan dan kebebasan politik. Dan ketiga hal itu merupakan pilar dari penegakan dan perjuangan demokrasi. Kebebasan individu untuk beragama, hanya bisa diwujudkan dalam sistem yang demokratis. Maka, HAM tentang jaminan beribadah secara bebas dan menyebarkan agamanya harus senantiasa dikembangkan. Jangan sampai, sebuah agama atau sekelompok tertentu dalam intern agama memaksa dan menggunakan kekerasan guna menghegemoni dakwah untuk kelompoknya sendiri.
Asas pluralisme dianut berdasarkan realitas masyarakat yang majemuk. Otoritas, yaitu negara atau MUI, tidak berhak menyatakan bahwa agama yang satu benar dan yang lain salah atau "sesat dan menyesatkan" seperti yang dituduhkan kepada Ahmadiyah dan yang lainnya Artinya, semua agama harus dianggap benar, yaitu benar menurut keyakinan pemeluk agama masing-masing. Sebab, prinsip ini merupakan landasan bagi keadilan, persamaan hak, dan kerukunan antarumat beragama. Tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi.
Demikian juga, tanpa pluralisme, di mana keyakinan masyarakat didominasi oleh keyakinan hegemonik seperti keyakinan para ulama MUI, kebebasan beragama akan terberangus dari bumi Indonesia, Padahal yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang tersimpul dalam istilah "bhinneka tunggal ika". Pluralisme, lewat Pancasila, adalah infrastruktur budaya dari persatuan, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial yang berdasarkan ketuhanan yang mahaesa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Islam sebagai tradisi moral sangat mengakui fakta pluralisme dan kemerdekaan beragama. Dasar pengakuan itu terdiri dua hal: Pertama, karena pluralisme merupakan ajakan terhadap penggunaan pikiran manusia. Alquran memberikan kedudukan yang sangat penting terhadap pilihan rasional dan dorongan individu. Menjadi seorang muslim adalah urusan pilihan rasional dan respon individu. Penekanannya bukan hanya karena nilai etika itu rasional dan ilmiah, namun karena layak dan dapat dimengerti oleh semua manusia. Dalam Al-qur’an-pun juga dijelaskan bahwa tidak ada pemaksaan dalam beragama, karena beragama merupakan pilihan dan kebebasan individu. Kedua, penerimaan sosial atas nilai Islam sebagai sebuah pemahaman oleh individu dan masyarakat yang berbeda-beda. Maksudnya, basis pluralisme ini senantiasa dikelola oleh perbedaan pendapat yang secara luas diperbolehkan oleh norma-norma sosial. Dialektika sosial akan mengembangkan dan menguatkan definisi yang bisa diterima tentang nilai etika .
Kesimpulan
Konflik terjadi kareana adanya sikap saling mengklaim kebenaran agamanya, alirannya ataupun pemahamannya. Siapa yang mempunyai otoritas pemahaman yang benar dari Tuhan?. Problem/konflik yang berkembang saat ini adalah problem penafsiran aja dan celakanya ada perasaan bahwa pemahamannya yang paling benar dan selanjutnya tidak saling mengkafirkan, menghakimi sampai kepada pembumi hangusan aliran karena tidak sesuai dengan pemahaman kita atau suatu aliran. Sumber konflik pro dan kontra terhadap pluralisme adalah adanya pembedaan penafsiran tentang term ini, sehingga yang muncul adalah saling menghujat padahal jika diruntut masing-masing argumentasi semuanya saling melengkapi. Untuk mencari titik temunya maka tradisi dialog antar agama menjadi penting guna mengembangkan nilai-nilai etika Islam yang sangat menghargai kebebasan beragama dan dialok intern agama untuk menjaga ukhuwah dari kesalahpahaman.
Perubahan paradigma pendidikan Islam mutlak dilakukan dalam menghadapi era globalisasi dan ditengah multikulturalisme, hal ini adalah sebuah keniscayaan untuk membuktikan nilai universalitas Islam yang rahmatanlil alamin dan akhirnya menciptakan kehidupan manusia yang harmonis dan humanis.
Peranan negara sebagai penjamin kebebasan beragama perlu dipertegas lagi. Negara harus menjamin bahwa kemerdekaan beragama. Negara tidak boleh mendukung satu agama serta satu kelompok paham selanjutnya menindas yang lainnya. Fungsi negara adalah menjamin kebebasan beragama yang diberikan secara sama kepada semua agama dan pahamnya, sebab ada hubungan mutlak antara kebebasan beragama, institusi, dan kebijakan yang menjamin kebebasan itu. Bila salah satunya timpang, maka dan jaminan kebebasan terancam.
Wallahu A’lam Bisshawab.
*) Penulis adalah alumni UIN Malang dan mahasiswa pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA
Fanani Ahmad Fuad, Islam, Pluralisme, dan Kemerdekaan Beragama. Artikel. (www. Islamlib.com, 2007)
Ghazali Abd Moqsith, Problematika Quranik Pluralisme Agama; Artikel (Media Indonesia, 6 Agustus 2004)
M. Khalid Masud, The Scope of Pluralism in Islamic Moral Traditions, 2002)
Mukhlis, Inklusifisme Tafsir al-Azhar (IAIN Mataram Press, 2004)
Rahardjo Dawam, Kala MUI Mengharamkan Pluralisme, Artikel (Tempointeraktif.com, juga bisa di baca di Koran Tempo edisi 1 Agustus 2005).
Wijdan Aden SZ, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2007)
www.Syiar Islam.com
www.wikipedia.org
Soedjatmoko, Education for Peace: The Role of Religion, Dialog, No. 15, September, Th. VIII:6-10. 1983
*) Penulis adalah alumni UIN Malang dan mahasiswa pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Biodata Singkat Penulis
Nama : M.Mukhlis Fahruddin. S.PdI
Tempat dan tanggal lahir : Lamongan, 20 November 1982
Alamat : Jl.Pemancar Barat.Perum. Deppen. N0. 138 Seturan.Yogjakarta
No.Telp./HP : 085 63625347
No. Rekening : BNI Cabang Unibraw Malang. An.M.Mukhlis Fahruddin. No. 0039489177
Kategori
- Aneka (1)
- Artikel (39)
- Bahasa dan Sastra (1)
- Berita (22)
- Download (2)
- Filsafat (4)
- Galery (3)
- HMI (4)
- Info (7)
- Internasional (10)
- Islam (21)
- Islam Indonesia (2)
- Jatim (4)
- Kata Sang Tokoh (1)
- Kehidupan (5)
- Malang (1)
- Nasihat (1)
- Nasional (6)
- Opini (12)
- Pendidikan (21)
- Politik (11)
- Potik (2)
- Renungan (4)
- Sains dan Teknologi (6)
- Tasawuf (2)
- Tentang Kahmi (8)
- UIN MMI (7)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Paparan yang bagus. Diharapkan masing2 umat beragama memahaminya dan menerapakn konsep toleransi kerukunan dapat terjaga. Namun toleransi pun harus dibarengi dengan pemahaman kita mengenai ajaran Islam tentang akhlak pergaulan dgn non-islam. Hal ini agar kita tak mudah terjebak. Karena ada fundametalis2 di msing2 agama.
Posting Komentar